18

36 11 4
                                    

Keajaiban itu nggak ada.

Penyihir yang bisa ngabulin keinginan itu nggak ada. Air mancur yang bisa ngabulin permintaan pas kita melempar uang koin ke dalamnya itu juga nggak ada. Bintang jatuh itu cuma fenomena alam biasa, begitu juga kayak lilin ulang tahun yang kalau kita tiup nggak bakal ngabulin permintaan apa-apa.

Lalu... kenapa Rio sekarang ada di depanku?

Di antara surat-surat lain yang menumpuk di lokernya, Rio, si murid baru ini... Cuma baca suratku? Nggak. Ini nggak mungkin, kan?

Setelah hampir satu jam aku nunggu, berdiri pesimis di sini, akhirnya cowo ini beneran datang?

Keajaiban gila dari mana ini?

“Lo yang namanya Kirana?” Dia tanya gitu sambil natap mataku. Di tangannya ada selembar kertas. Cowok itu melirik, membaca ulang sesuatu yang kutulis di sana. “Kirana Veralia?”

Aku mengangguk. Bodoh banget. Sumpah, aku pengen ketawa, ngakak sekencang-kencangnya. Rio baca suratku, terus datang ke sini buat nemuin aku? Beneran? Rasanya kayak aku ngalahin cewek-cewek lainnya. Aku yang nggak punya keistimewaan apa-apa ini, ngalahin cewek-cewek cantik dan populer di sekolah, semua yang pengen deketin Rio dan menuhin loker cowok itu sama surat cinta setiap harinya. Aku ngalahin mereka semua? Serius?

Padahal sebelumnya aku nggak tau apa-apa tentang Rio. Aku Cuma tau kalau dia itu murid pindahan yang baru masuk ke sekolah ini beberapa minggu yang lalu. Aku nggak tau apa makanan kesukaannya, apa hobinya, apa musik yang dia sengerin, tanggal lahir dan zodiaknya. Informasi yang biasanya dibangga-banggain sama stalker. Aku nggak tau itu semua, tapi aku bisa menang lawan mereka?

Segampang ini?

Nggak. Belum. Ini masih permulaan.

Kami berkenalan, berjabat tangan. Cowok itu tangannya kasar dan agak berkeringat. Hangat. Mungkin dia habis main basket sebelum datang ke sini. Aku nggak yakin, sih. Tapi... wajahnya memang kelihatan cukup kusam, rambutnya acak-acakan. Matanya? Cenderung datar, kayak orang lagi terpaksa ngelakuin sesuatu.

Aku sudah senyum, bersikap seramah mungkin biar dia nggak ngerasa terganggu, tapi si Rio ini masih terlihat kaku. Bukan kaku. Aku nggak tau gimana cara jelasinnya. Malas. Lesu. Nggak ada niat. Nada suaranya. Senyumnya. Apa sikapnya emang kayak gini? Kayaknya nggak, deh. Aku pernah dengar teman sekelasku bergosip. Mereka bilang Rio itu anaknya penuh semangat banget, apalagi pas main basket. Senyumnya lebar, nggak kayak apa yang ada di depanku ini.

Cowok ini... beneran Rio?

Wajahnya sih sama kayak Rio. Postur tubuhnya juga. Tapi....

Dia nggak mungkin punya kembaran, kan?

Nggak. Kayaknya nggak mungkin, deh. Nggak ada gosip tentang itu.

Mungkin dia cuma kecapekan. Atau mungkin cuma lagi badmood aja. Aku nggak ngerti, tapi mau nggak mau aku harus bisa dekat sama dia. Biar bisa jadi populer. Biar temanku jadi lebih banyak.

Kami mengobrol biasa. Aku ngenalin diriku sendiri lebih lanjut. Dia juga sama. Aku tanya ini-itu, dia jawab dengan nada yang biasa aja. Lalu dia tanya ini-itu, aku jawab dengan sejujurnya. Sekitar sepuluh atau lima belas menit, kami pun akhirnya mutusin untuk pulang.

“Kamu pulang sendiri?” aku tanya gitu, sambil mendongak, natap wajahnya yang lebih tinggi dariku.

Cowok itu mengangguk.

Dengan sedikit ragu, aku bertanya lagi, “A-aku boleh pulang bareng...?”

Dia melirik sedikit, bikin aku ragu untuk nyelesaiin pertanyaanku. Lalu balik lagi fokus ke jalanan koridor.

“Besok, kok.” Aku maksain senyum. “Hari ini aku masih bawa motor sendiri. Jadi....”

“Boleh.” Dia motong perkataanku. Tatapannya masih lurus ke lorong. Tanpa lirikan, dan tanpa senyum sama sekali. “Besok gue anterin pulang, kalau lo maunya begitu.”

“Makasih.” Senyumku melebar.

Aku nggak tau kenapa dia kelihatan cuek kayak gini, tapi kurasa dia masih termasuk orang yang baik. Kami cuma belum kenal satu sama lain aja. Itu doang. Dengan berjalannya waktu, aku yakin kami bisa jauh lebih akrab.

“Woi, Yo!” Di parkiran, ada dua teman sekelas Rio. Aku kenal mereka. Liam, top MVP pertandingan basket bulan lalu; sama Bella, salah satu cewek populer di sekolah. Mereka ngelambaiin tangan ke arah kami. Untuk pertama kalinya, aku lihat Rio tersenyum lebar.

“Hei!” serunya, mempercepat langkah ke arah dua temannya itu. Aku ngikutin dari belakang.

“Ini siapa?” Liam nanya ke Rio, tapi arah matanya tertuju padaku. “Cewek yang minta kenalan lo lewat surat tadi?”

Rio melirikku sejenak. Bibirnya membentuk lengkungan. “Yoi.” Dia mengangguk, lalu mengisyaratkan tangannya ke depan untuk nyuruh aku sedikit lebih maju. “Kenalin, namanya Kirana.”

Aku mengangguk, mencoba tersenyum seramah mungkin. Mereka ngenalin diri mereka sebagai Liam sama Bella. Aku sudah tau, sih. Tapi aku tetap jabat tangan mereka sebagai tanda perkenalan.

Kami ngobrol sebentar. Basa-basi sedikit. Liam bilang kalau aku beruntung banget, suratku dibaca sama rio, bla-bla-bla-bla. Bella mengangguk, menyetujuinya. Rencananya mereka bertiga bakal nongkrong sebentar di kafe sepulang sekolah ini. Aku juga diajak.

Ini kesempatan yang nggak bakal datang dua kali, kan? Jadi tanpa pikir panjang, aku langsung setuju.  Lagian, cewek idiot mana yang nggak mau diajak nongkorng sama mereka? Anak-anak populer super gaul SMA ini. Tentu saja aku mau ikut.

“Eh, terus si Marcel tadi gimana?” Rio tiba-tiba tanya kayak gitu. Mentap Liam sama Bella satu persatu. “Dia jadi nemuin si itu...?”

Liam sama bella saling lirik, kayak lagi nggak yakin. “Kayaknya sih gitu.”

“Itu beneran cewe?” Rio setngah tertawa. “Bukan semacam prank?”

Aku nggak ngerti apa yang mereka bicarain, jadi aku tanya, “Emangnya ada apa?”

Mereka melirikku bersamaan, seolah lupa kalau aku dari tadi berdiri di sini. “Begini.” Bella mulai menjelaskan. “Jadi tadi ada kayak surat cinta gitu di lokernya Marcel.”

“Jarang banget dia nerima yang kayak gituan,” Liam menambahkan.

“Kayaknya prank, deh.”

“mungkin.”

“Nggak tau juga.”

Beberapa menit kemudian, cowok yang dibicarain itu muncul. Aku pernah beberapa kali dengar nama Marcel. Dia cowok kutu buku yang sekelas sama Rio. Nggak terlalu penting, sih. Tapi pas lagi diobrolin kayak gini, aku jadi agak penasaran.

Sesuai sama reputasinya, cowok kutu buku itu kelihatan kaku banget. Dia jalan sambil nunduk, nggak noleh ke kanan-kiri. Penampilannya cukup rapi, pakai dasi. Rambutnya biasa aja, nggak berantakan atau dimodel yang aneh-aneh. Terus di sebelahnya... ada cewek.

Jadi cewek itu yang naruh surat cinta di lokernya Marcel?

Ternyata cewek beneran, bukan prank nggak jelas kayak yang tadi dibicarain Rio sama temannya-temannya.

Lalu cewek itu... aku kenal dia.

Eh? Itu beneran dia?

Nggak mungkin, deh. Nggak. Ini aneh banget!

Kenapa?

Amel? Cewek populer di kelasku, suka sama cowok kutu buku kayak Marcel? Serius?

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang