“Apa istimewanya sih si idiot Marcel itu?” Rio merogoh saku celananya, ngeluarin sekotak rokok.
Kami ada di roof top sekarang. Berdua, tanpa ada seorang pun yang mengikuti. Langit biru di hadapanku. Jaring-jaring pagar besi yang sudah agak berkarat membatasi sisi gedung. Angin berembus cukup kencang, membuat rambutku berkibar pas aku menghadap ke bawah, merhatiin entah murid kelas berapa yang lagi asyik main basket di lapangan depan.
“Sejak pagi, banyak banget yang ngomongin Marcel.” Api yang menyala, disulutin ke ujung rokok. Rio menghisapnya dengan santai, kayak orang yang sudah terbiasa merokok.
Aku nggak tau mau komplain atau nggak, tapi aku berusaha menjauh, menjaga jarak biar bau asap rokoknya nggak menempel di seragamku.
“Marcel bolos, Marcel nggak masuk sekolah, Marcel begini, Marcel begitu, Marcel mati, Marcel bunuh diri. Marcel, Marcel, Marcel, Marcel aja terus.” Dia menembuskan asap putih dari mulutnya ke udara, lalu melirikku. “Lo juga....”
Rio melangkah, deketin aku. Tapi, aku mundur, selangkah, dua langkah, sampai cowok itu berhenti.
“Kenapa sih?” tanyanya. “Emang kenapa kalau si Marcel itu mati?”
Kutatap mata Rio. Cowok di depanku itu... aku nggak ngerti. Apa yang dia bilang barusan?
Marcel itu teman sekelasnya, lho! Teman se-circle-nya juga. Apa dia nggak sedih dengar kabar temannya sendiri meninggal bunuh diri kayak gitu?
“Kamu ini... nggak lagi bercanda kan, Yo?”
“Bercanda?” Rio ketawa kecil, kayak orang yang lagi ngeremehin. “Lo kali, Ran, yang bercanda.”
Aku nggak ngerti. Aku? Kenapa aku?
“Lo cewek tolol yang suka sama Marcel.” Jemarinya lurus, tepat nunjuk ke arah dadaku. “Elo, Ran. Elo!”
Apa? Apa, apa, apa salahku? Apa yang sudah aku lakuin?
“Padahal gue yang lagi ada di atas,” katanya. “Gue, si murid baru yang lagi populer-populernya. Gue yang jadi pusat perhatian seluruh sekolah. Gue yang jadi bahan pembicaraan, bahan gosip. Semua mata tertuju ke arah gue. Tapi....
“Cuma lo, Ran. Elo cewek aneh gak jelas yang malah ngirim surat ke lokernya Marcel, nyatain perasaan lo ke cowok cupu itu.”
Tangan Rio melesat, mukul pagar jaring besi yang ada di sebelahnya sampai jerujinya bergoyang. Suaranya keras banget, tapi pas aku sedikit nengok ke bawah, kayaknya belum ada yang sadar kalau kami berdua ada di atas.
Ini buruk. Buruk banget. Rio kayak orang gila yang beneran hilang kendali. Dia terus-terusan ketawa, nangis, ngomong sesuatu yang nggak bisa kungerti, sambil terus goyang-goyangin pagar itu dengan cengkeraman tangannya.
“Pagarnya bisa roboh, Rio!” kuminta dia untuk berhenti goyangin pagar jaring usang itu, tapi kayaknya sia-sia. Cowok itu sama sekali nggak dengerin apa yang kubilang.
“Kenapa sih, Ran?” Dia menatapku. “Padahal cewek-cewek lain berlomba buat deketin gue. Mereka naruh surat di loker gue, ngasih gue cokelat, nraktir gue, pake seribu alasan biar bisa pulang bareng, boncengan sama gue. Tapi elo... elo lebih tertarik sama Marcel?! Apa sih hebatnya dia? Apa, hah?!”
Semuanya salah.
“Lo juga nggak bisa jawab kan, Kirana?”
Sejak awal, sampai sekarang, aku sendiri nggak ngerti apa yang aku lakuin.
“Sekarang cowok kutu buku itu udah nggak ada.”
Aku tau.
“Kamu... cemburu?” Karena aku deketin Marcel?
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer