13

35 13 2
                                    

“Kalian semua ngapain sih ke sini?!” Bukannya nyambut kedatangan kami dengan ramah, Marcel si Tuan Rumah ini malah ngegas kayak gitu. “Aku nggak ada waktu buat main sama kalian. Kalian kalau mau pesta, pesta aja di rumahnya Bella. noh.” Dia menunjuk rumah besar yang ada terlihat dari luar jendela.

“Sudahlah, Cel. Nyantai aja dulu.” Liam mendaratkan tubuhnya di sofa di ruang tamu. “Lagian, lo emangnya mau ngapain sih di kamar mulu? Mau nonton bokep ya?”

Liam meringis, hampir ketawa, tapi nggak jadi karena dia tiba-tiba berteriak minta ampun pas Bella mencubit lengannya.

“Apaan sih, Bel?!” Liam masih mengaduh sambil ngusap-ngusap lengannya yang memerah. “Gue cuma bercanda, juga.”

“Nggak lucu.”

“Tch, nggak asyik.”

“Aku mau belajar.” Kayak batu di tengah sungai, Marcel bilang gitu tanpa senyum sedikit pun. Rapet banget. Matanya tajam, natap kami satu per satu.

“Belajar?” Rio membuka setoples camilan kacang yang tersedia di meja, lalu mengambil beberapa untuk dia makan. “Emang besok ada apa?”

Liam melirik Bella. “Nggak ada ulangan, kan?”

Bella menggeleng. “Nggak,” katanya. “Besok nggak ada apa-apa, nggak ada PR juga.”

“Tuh, Cel. Santai aja, kali.”

“Udah ada Kirana juga, kan?” Rio melirikku, lalu ngasih senyum miring. “Kasihan kan dia udah capek-capek ke sini buat ketemu sama elo, tapi lo sendiri malah lebih mentingin belajar.”

Seketika senyumku jadi canggung. Aku nggak tau mau ngomong apa.

“Memangnya kenapa?” Amel tanya gitu di sebelah telingaku. Wajahnya menyelidik, kayak pengen tau sesuatu. “Kalian punya hubungan, ya?”

“Tentang Kirana sama Marcel?” Rio mengangkat alis, lalu ketawa. “Hubungan mereka itu kayak... TTM-an. Tau kan TTM? Teman tapi mesra.”

“Katanya sih, Kirana tuh suka sama Marcel.”

Mereka mulai cerita ke Amel tentang surat yang kukirim beberapa hari yang lalu, tentang pertemuan kami, sampai tenang aku yang ikut nongkrong sama mereka hari itu. Amel dengerin semuanya sambil senyum-senyum kayak anak kecil yang senang banget waktu dibacain cerita dongeng.

“Nggak nyangka banget ya lo, Ran.” Amel tersenyum lebar, lalu memukul pelan pundakku. “Ternyata cowo idaman lo itu yang kutu buku gitu, ya.”

Sekali lagi aku nggak jawab dan cuma senyum-senyum canggung doang.

Di pojok ruang tamu, dekat lorong yang terhubung ke ruang tengah, ada seorang pria berumur empat puluh tahunan. Entah sejak kapan dia ada di situ, aku juga baru sadar. Pria itu berdiri dengan kemeja krem yang lumayan rapi, berdasi, kayak orang yang baru saja pulang kerja.

“Kamu bisa belajar nanti, Marcel,” ujar pria itu, seolah lagi ngasih nasihat. “Teman-temanmu ada di sini, kamu main saja dulu bersama mereka.”

“Tapi, Yah....”

“Eh, Profesor?” Bella seketika menoleh. Kelihatannya dia juga baru sadar kalau pria---yang kemungkinan besar sih ayahnya Marcel---itu ada di ujung lorong. “Tumben jam segini udah pulang, Prof?”

Pria itu tersenyum. “Hari ini saya cukup bebas,” katanya. “Saya dari kamar, menulis laporan. Lalu, waktu dengar Marcel marah-marah, saya langsung turun, saya kira ada apa.”

Bella setengah tertawa. “Iya nih, Prof. Marcel dari tadi di sekolah rese banget, nggak mau main sama kita, pengennya belajar mulu.”

Pria itu mendengus, lalu natap Marcel dengan tatapan yang penuh perhatian.

“Iya, iya.” Nggak ada yang bisa Marcel lakuin lagi kecuali pasrah, nerima kehadiran kami di sini. “Tapi ingat, ya, jangan sampai kemalaman. Aku nggak mau jam tidurku keganggu gara-gara kalian.”

“Siaap!”

“Marcel tuh anti banget sama yang namanya begadang.” Bella melirikku sambil senyum-senyum. “Kepalanya yang penuh sama rumus-rumus itu perlu banyak istirahat, katanya.”

“Palingan sampe jam sepuluhan doang.” Liam menoleh, tersenyum sopan ke hadapan ayahnya Marcel. “Nggak pa-pa kan, Om?”

“Yang penting jangan berisik.”

Dan begitulah acara kami dimulai. Ayah Marcel kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Aku, Amel, dan teman-teman lainnya berkumpul di ruang tengah. Kami duduk di atas karpet, membentuk lingkaran yang sama sekali nggak kelihatan kayak lingkaran.

“Terus, kita mau main apa?” Marcel tanya kayak gitu. Nadanya sinis.

Kulirik Bella. Rio, Liam, dan Marcel juga ngelakuin hal yang sama. “Mbak panitia, kita mau main apa, nih?”

Bella mengernyit. “Mbak panitia?”

“Ya kan lo yang ngadain acara ini.”

“Ya udah, ya udah.” Bella memutar bola matanya. “Gimana kalau main ular tangga aja.”

“Males ah, bosen.”

“Ya terus? Monopoli?”

“Main kartu aja, yang paling gampang.” Marcel sendiri yang ngusulin permainan itu. “Kamu punya kartunya kan, Bel?”

Bella menaikkan alis. “Ada sih kartunya di rumah.” Nggak tau kenapa, tapi Bella kelihatan ragu.

“Gimana?”

“Bosen.” Rio mencomot beberapa camilan lagi yang ada di dalam toples, lalu memakannya. “Nggak ada game yang lebih seru, apa?”

“Ah, aku tau!” Amel berseru. “Gimana kalau kita main kartu, tapi mainnya berpasangan.”

Aku hampir ketawa. Ini mungkin salah satu cara Amel buat deketin Rio. “Kayaknya seru.” Aku mengangguk-angguk. “Aku bisa berpasangan sama Marcel. Amel sama Rio, terus... Bella sama Liam.”

“Bentar.” Rio menatapku. “Kenapa gue pasangan sama Amel? Kok nggak sama Bella atau lo aja?”

“Ya kan, aku sudah sama Marcel.” Itu alasanku. Tapi, alasan utamanya itu ya karena aku sudah janji ke Amel bakal deketin dia sama Rio. “Terus, Bella kayaknya juga sudah cocok banget sama Liam. Jadi....”

“Tenang aja, Yo.” Amel menepuk pelan pundak Rio. “Begini-begini, Gue jago kok main kartu. Pasti menang deh, pokoknya.”

Rio kelihatan nggak yakin, tapi dia menghela napas pasrah. “Terserah kalian aja, deh,”

“Ya udah.” Bella berdiri. “Aku ambil kartunya di rumahku dulu, ya.”

Rasanya agak sungkan kalau nyuruh Bella ngambil kartunya sendirian kayak gitu. “Aku temani, ya.” Aku ikut berdiri, tapi Bella buru-buru melarangku.

“Eh, nggak usah,” katanya. “Aku bisa sendiri, kok.”

Amel mendongak, “Sekalian ambilin camilan yang ada di mobil ya, Ran.” Dia ngasih aku kunci mobilnya. Kami memang sempat mampir ke supermarket tadi sebelum sampai ke sini.

“Biar aku saja, ya.” Bella tetap bersikeras pengen sendirian. Dia ngulurin tangannya buat minta kunci mobil itu, tapi nggak aku kasih.

“Barangnya ada banyak, Bel.” Ada tiga keresek besar yang penuh sama makanan dan minuman. Mau gimana pun, kurasa Bella nggak mungkin kuat bawa itu semua sendirian. “Biar aku bantu.”

“Nggak!”

Aku nggak tau kenapa, tapi Bella kayak nggak sengaja naikin nada suaranya gitu. Suaranya sampai bergemuruh di ruang tengah.

“Aku bisa sendiri, Ran,” dia bilang begitu. “Percaya, deh.”

“Biarin aja, napa.” Liam membelaku. “Kirana cuma mau bantu doang, kok. Nggak ada masalah, kan?”

Memang seharusnya nggak ada masalah apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa Bella bertingkah kayak gitu. Dia kelihatan cemas, keringatnya menetes, tatapannya juga kayak lagi waspada banget.

Sumpah, ini mungkin cuma perasaanku doang, tapi rasanya aku yakin banget. Bella kayak lagi nyembunyiin sesuatu.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang