... HAPPY READING ...
Pagi menjelang siang, suasana di dalam ruangan ini tidak seperti biasanya. Terdapat wajah amarah dari salah satu yang berada di dalam tersebut.
"Kenapa abang gak bilang sama buna?" kesal Buna Daisy kepada anak pertamanya. Setelah mendengar cerita masalah Arlettha selama ini, semua terlihat kesal dan kecewa.
"Arlettha meminta abang untuk tidak diberi tahu bun, maaf," ucap pelan Bang Arhan sambil menunduk.
"Sudah berapa lama Arga lakukan itu kepada adik kamu, Arhan?" kini Papa Yudha bersuara, terdengar dari nadanya yang tidak amat suka malaikat kecilnya di sakiti.
"Abang tidak tau, papa. Yang pasti saat kejadian Arlettha tidak sengaja menjatuhkan sebuah foto cinta pertama Arga, Arga selalu marah dan berakhir seperti ini, papa."
Papa Yudha mengembuskan nafasnya kasar, ia segera berdiri dari tempat duduknya. "Ayo, ikut papa," ajak Papa Yudha tanpa menoleh sedikit pun.
Arhan mengeritkan dahinya bingung, "kemana pah?"
"Pengadilan Agama Jakarta Selatan."
***
"Lo gila?!" emosi Ghevano kini kembali memuncak, setelah dirinya tahu jika Arga kembali menampar istrinya karena hal sepele.
"Apa sih Van? Dia itu salah! Emang seharusnya dia itu gue gituin. Lagian jadi cewek gampang banget ngadu, beda sama Queen," ucap Arga sambil tersenyum miring.
Ghevano tertawa sumbang, "lo berubah, Rayy, lo berubah. Lo bukan Rayyan yang gue kenal!!"
Arga mengeritkan dahinya, "berubah? Lo yang berubah Van," ujar Arga tak mau mengalah.
Ghevano menggeleng-geleng kepala, "semoga lo gak nyesel, Ray." Setelah mengatakan itu, Ghevano meninggalkan ruangan sahabatnya, tak sengaja dirinya menjatuhkan sebuah benda.
Arga meperhatikan langkah sahabatnya yang meninggalkan ruangan ini. Matanya tertuju pada sebuah benda hitam yang terjatuh di sebuah lantai itu. Ia melangkah dan mengambilnya, sebuah flashdisk hitam tertanda AR
"AR?" gumam Arga bingung. Ia pun melangkah sebuah kursi kebanggaannya dan membuka laptop berlogo apple itu dan membuka isi dari flashdisk AR tersebut.
Tanpa di sadari masih tersedia Ghevano yang melihat dari celah jendela yang sedikit terbuka, ia tersenyum semoga saja rencananya berhasil. "Semoga ini bisa membantu."
Ghevano pun segera meninggalkan lorong tersebut, sebelum dirinya benar-benar pergi, Ghevano mengirimkan sebuah pesan untuk seseorang.
***
Hari semakin malam, terdapat dua wanita cantik yang sudah siap dengan sebuah koper besar yang mereka bawa.
"Letth, lu serius mau pergi ke Jepang?" tanya Wilona memastikan.
Arlettha memangguk, "iya, gue sudah siapkan semua keperluan kita di sana nanti. Lu gak perlu khawatir soal itu, Wilona," balas Arlettha dengan tenang.
"Bukan itu masalahnya, Letth," cegah Wilona sebelum mereka masuk ke dalam Bandar Udara Soekarno-Hatta. "Apa lu gak mau selesaikan masalah ini baik-baik?" sambung Wilona sambil menyamakan langkah Arlettha.
"Gue akan selesaikan masalah ini baik-baik. Tapi gak sekarang, Wil."
Wilona berhenti sejenak, "apa dengan lu pergi ke negera orang itu bisa menyelesaikan masalah? Enggak Lettha!!"
Arlettha terhenti, "terus gue harus apa, Wil? Apa gue harus diam dan menerima semua rasa sakit ini? Gue punya malaikat kecil yang harus gue jaga, Wilona." Setelah mengatakan itu airmata yang sedari tadi ia tahan kini keluar dengan deras.
Wilona segera berlari dan memeluk sahabatnya itu dari belakang.
"Seterah lu mau ikut gue atau enggak, Wil. Gue gak akan maksa," ujar Arlettha tanpa menatap kearah manapun.
Wilona menggeleng pelan, "enggak, gue akan terus ikut lu. Karena lu sahabat satu-satunya gue, Letth. Maaf soal tadi."
Arlettha tersenyum lalu menggeleng pelan. "Gak papa, ayo masuk, takut telat."
Mereka pun masuk sambil menggandeng tangan. Waktu terus berputar, jam dinding menunjukkan pukul 21 : 30 WIB. Malam hari ini, Arlettha memutuskan untuk pergi ke Jepang, dimana disana dirinya akan menenangkan pikiran untuk beberapa hari dan menjaga buah hatinya.
"Lu gak main hp, Letth?" tanya Wilona yang merasa aneh dengan sahabatnya itu. Sejak tadi tadi siang, Arlettha sama sekali tidak memegang handphone.
"Enggak."
Wilona memangguk paham dan diam-diam dirinya mengirim sebuah pesan tapi nomor Arlettha tidak lah aktif. Ia sudah tahu jawabnnya saat ini. Ia pun diam dan memasangkan earphone kepada telinga kanan Arlettha.
Irama musik berputar, lagu itu menggambarkan kondisinya saat ini. Lagu Putus atau terus yang di populerkan oleh Judika.
Wilona tersenyum dan memggenggam tangan Arlettha dengan erat. "Apapun keputusan lu nanti, itu pilihan lu, Letth. Lu yang jalani selama ini. Tapi gue mohon, tolong jangan berakhir begitu saja."
Arlettha tersenyum dan menyeka airmata yang hampir terjatuh itu. "Thanks you, Wil."
***
"Mah, Arlettha kemana? Dari tadi papa gak lihat keberadaannya," ujar Papa Rasyid kepada Mama Sarah yang sedang merapihkan lemari.
Mama Sarah terdiam, ia tak mampu untuk menjawab hal ini.
"Mah, kok diam? Apa ada masalah?"
Mama Sarah segera menghampiri Papa Rasyid dan langsung menangis begitu saja. Papa Rasyid bingung ada apa ini? Ia pun menenagkan sang istri sekuat tenaganya.
"Mah? Cerita sama papa, ada apa?"
"Rayyan pah, Rayyan melakukan hal itu lagi," curah Mama Sarah setelah sekian lama dirinya menangis.
Papa Rasyid tidak paham ada apa ini. Apa putra semata wayangnya melakukan hal yang berbahaya?
Tidak lama notif handphone miliknya bergetar tanda pesan masuk, sebuah email milik putranya dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
"Pengadilan?"
... BERSAMBUNG ...
Nyambung gak siih? Aa over deh 😭💔
Nah loh, nah loh. Kenapa tuu... ada pengadilan segala, jangan jangan ........
Maaf kalo banyak typo dan tidak nyambung, tapi tetep suka yaa 😁❤
Jangan lupa votmen!!
See you next chapter 💜
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS DOSEN [ END ]
Random> vote & komen di setiap part < Sebuah perjalanan kisah cinta yang rumit. Mereka di takdirkan bersama bukan karena cinta, melainkan sebuah ikatan perjodohan yang di buat oleh orang tuanya. Memiliki masa lalu yang cukup membuat mereka trauma, bagaim...