Delapan

62.9K 3.6K 43
                                    

Raffael berdecak sebal saat suara bel rumahnya terus berbunyi. Dia yakin jika Bi Nana atau mungkin sopirnya sedang pergi ke pasar karena hari ini merupakan hari minggu. Untuk Zafia Raffael tidak pernah berharap dengan adiknya itu yang selalu bangun kesiangan.

"Sia — Zora?" Raffael terkejut melihat tubuh Zora yang tergeletak di depan pintunya. Apa lagi melihat wajah pucat gadis itu yang membuat Raffael mau tak mau melihat keadaannya.

"Zora?" Panggilnya dengan nada lumayan keras. Bahkan Raffael sama sekali tak bersikap lembut saat adiknya dalam keadaan yang tidak baik.

"Zora sialan!"

"Ada apa sih?!" Zafia datang dengan wajah yang menandakan bahwa gadis itu baru saja bangun dari tidurnya. Zafia juga tak kalah terkejut saat melihat Zora yang pingsan di lantai.

"Dia kenapa?" Zafia bertanya khawatir. Apa lagi saat menyentuh tubuh Zora yang begitu dingin, dia tak mungkin membiarkan adiknya mati seperti ini. Walau sebenarnya Zafia sama sekali tak peduli.

"Mending bawa ke kamar lo aja, Kak." Raffael mau tak mau mengangguk.

Raffael menggendong Zora, membawa gadis itu masuk ke dalam kamarnya yang sudah rapi itu. Zafia hanya membantu Raffael merebahkan tubuh Zora ke atas ranjang milik sang kakak dengan hati-hati.

"Sebenernya dia kenapa, sih?" Zafia bertanya heran. Karena tak biasanya Zora sampai pingsan dan dalam keadaan seperti ini, apa lagi di depan kamar kakaknya.

"Gue juga enggak tau!" Raffael juga bingung. Padahal dia kira Zora sudah kembali ke kamarnya semalam. Berarti semalaman gadis itu pingsan di depan kamarnya.

"Lebih baik panggilin dokter." Zafia mengangguk kembali ke kamarnya mengambil ponsel.

Raffael menyelimuti tubuh Zora. Dia sampai lupa ada orang yang datang ke rumahnya. Raffael pergi, membukakan pintu untuk entah siapa yang datang pagi-pagi seperti ini.

                                ***

"Tumben banget lo baik biarin adek lo tidur di situ?" Vero sebagai sahabat Raffael sejak lama sudah tau bagaimana kebencian dua saudara itu kepada adik bungsu mereka. Bahkan Vero dan Devan juga tau mengapa keduanya bisa membenci Zora sebesar itu.

"Gue kira dia udah mau mati, ternyata cuma kecapean aja." Raffael ke luar dari kamarnya diikuti oleh Vero dan Devan.

Dokter sudah datang tadi, dan berkata jika Zora hanya kelelahan saja. Raffael jadi menyesal membantu gadis itu, bahkan merelakan kamarnya untuk ditempati.

"Udahlah Raffael, biarin aja sebentar dia di sana. Lagi pula dia juga manusia, lo gitu amat sih!" Devan seketika bungkam saat Raffael menatapnya tajam.

Sebenarnya keduanya tau jika Raffael sangat tak suka jika keduanya malah membela Zora. Hanya saja kedua temannya itu memang selalu suka membuat Raffael emosi.

"Assalamualaikum, Kakak!" Perdebatan ketiganya seketika teralihkan oleh kedatangan seorang gadis dengan dress merah muka dengan senyum cerah yang tergambar di bibir gadis itu.

"Anya." Raffael menerima pelukan Anya, bahkan tak kalah eratnya dari pelukan gadis itu.

"Anya kangen banget," ungkap Anya dengan manja.

Sedangkan Devan dan Vero hanya tersenyum, keduanya sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Bahkan Devan dan Vero juga sudah sangat mengenal Anya sebagai sepupu Raffael yang begitu cantik dan lembut.

"Sini duduk." Raffael menarik pelan tangan Anya, membawa Anya duduk di sebelahnya.

Anya bercerita banyak hal kepada ketiga pria di sana, bahkan mereka bertiga sangat merespons dengan baik sifat manja gadis dengan rambut di kucir dua itu.

"Bukannya dia kakak aku?" Zora gadis itu sejak tadi telah sadar dan berdiri tak jauh dari ruang tamu, memperhatikan interaksi keempat orang di depannya dengan pandangan sayu. Bahkan wajah gadis itu masih ketara pucatnya.

"Apa aku anak angkat, ya?" Zora menggelengkan kepala.

Bagaimana bisa dia anak angkat, tak mungkin orang tuanya mengangkat anak setelah mempunyai dua anak seperti Zafia dan Raffael. Namun, mengapa bukan Zora saja yang menjadi Anya.

"Kenapa aku enggak dilempar ke tubuh Anya aja, sih. Aku kan pengen manja-manjaan." Zora menghentakkan kaki sebal dan pergi dari sana.

Percuma saja dia memohon dan berharap. Nyatanya dia hanyalah Zora yang dibenci banyak orang, Zora sendiri tak yakin mentalnya aman setelah berada di sini.

****

Tak ada yang berubah setelah seminggu dari insiden pingsannya Zora. Semua orang masih suka mencaci-makinya, bahkan selalu memarahinya dengan alasan-alasan tak jelas.

Jika ditanya apakah dia tidak lelah? Jawaban sangat, dia sangatlah lelah. Namun, tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah. Dia tak tau caranya pergi dari sini.

Awalnya Zora pernah berpikir gila untuk mengakhiri hidupnya karena mengira dia akan kembali ke tubuhnya. Tetapi dia saja tak tau apakah tubuhnya di sana baik-baik saja, atau bahkan sudah memasuki tanah.

Bukannya kembali dia bisa masuk ke neraka karena bunuh diri. Atau dia bahkan pernah berpikir untuk pindah sekolah, tetapi dia urungkan. Dia tak mungkin menyia-nyiakan semuanya.

Jika dia lari semuanya tak akan pernah selesai, yang ada seumur hidup Zora hanya bisa hidup di dalam kebencian yang bahkan dia sendiri tak tau dimulai dari mana. Atau bahkan dia tak memiliki kesempatan untuk mendekati Zafia dan Raffael.

Zora hanya ingin mendekati Zafia dan Raffael, dia ingin tau mengapa alasan keduanya membenci Zora. Mungkin jika itu Gazza Zora masih menerima. Zora memaklumi jika Gazza membencinya, walau sebenarnya Zora masih bingung.

Tetapi jika itu kedua kakaknya. Zora sangat tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa seorang saudara saling membenci seperti ini, bahkan sangat membenci Zora.

"Aku harus nemuin semua jawabannya!" Zora bertekad untuk memecahkan semua rahasia dari tubuh yang dia tempati ini.

Jika Zora yang asli tidak memberi jawaban, maka Zora akan menemukan jawaban itu sendiri.

Komen komen dong

Yuk ramein biar aku langsung up cepat. Ini udah double up loh.

Yuk follow juga ya akun aku.

Terima kasih.

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang