Tiga-tiga 🔞

95K 3.5K 76
                                    

Yang pertama Zora lihat saat membuka mata adalah tempat asing. Langit-langit kamar yang terlihat usang, dan berdebu, lalu barang-barang yang terlihat tak terurus. Zora berusaha bangkit, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hingga pintu di sampingnya terbuka, lalu seorang pria datang membawa nampan berisi makanan.

"Kak Mahesa ada maksud apa sampai bawa aku ke sini?" Zora jelas curiga. Dia dan Mahesa tak memiliki hubungan yang baik.

"Terus maksud tadi apa? Kakak kurang ajar!" Zora bangkit, mendorong Mahesa dan ke luar dari kamar.

Mahesa meletakkan nampan di nakas, lalu menyusul Zora yang berusaha membuka pintu. Sayangnya Mahesa telah menguncinya sejak tadi.

"Buka!" Zora menatap marah ke arah Mahesa.

"Lo beneran enggak ingat apa pun?" Mahesa bertanya heran. Seolah dia telah mengetahui dan mengharapkan sesuatu.

"Aku inget, rumah pohon itu tempat aku main waktu kecil. Percuma aja, aku enggak peduli sama semuanya!" Zora jelas kecewa.

Dia tak tau sebenarnya ingatan dari mana yang dia dapatkan. Jelas dia mengingat rumah pohon itu tempat bermain seorang anak kecil yang dia yakini dirinya. Yang membingungkan dia tak dapat melihat jelas, sebenarnya itu dia masih kecil, atau Zora.

Lalu yang membuatnya marah adalah alamat ini. Jelas alamatnya sama dengan rumahnya dulu, lalu mengapa malah ingatan lain yang muncul. Seolah membuat Zora semakin bingung dengan asal-usulnya.

"Ini rumah lo dulu," ucap Mahesa.

"Lo lupa semuanya, bahkan dengan kenangan masa lalu. Atau lo mencoba melupakan dosa-dosa lo di masa lalu." Mahesa berkata dengan menusuk, dia mendekat ke arah Zora menatap Zora dengan tajam.

"Tempat yang sama untuk lo nyiksa gue," bisik Mahesa.

Zora langsung mendorong Mahesa menjauh, dia berusaha membuka pintu namun hasilnya tetap nihil.

"Aku mau tanya." Zora menyerah, dia akan menanyakan hal lain kepada Mahesa.

"Apa ada alamat yang sama seperti alamat rumah pohon itu?"

"Enggak," balas Mahesa.

"Terus ini rumah siapa?" Zora masih bingung, dia mengingat rumah pohon itu. Tetapi tak mengingat rumah yang sedang mereka tempati.

"Gue, dulu." Zora menoleh ke arah jendela, dia terkejut saat menemukan rumah pohon itu di samping sana.

"Dulu lo emang sering ke sini."

"Kata kakak kita enggak akur, tapi kenapa aku malah main ke rumah kakak?" tanya Zora heran.

Dia merasa heran juga, kenapa dia hanya mendapat ingatan separuhnya saja. Dia tak ingat jelas dengan siapa dia bermain, tetapi dia melihat ada dua anak lelaki yang bersamanya di dalam ingatannya.

"Apa ada orang lain selain kita berdua dulu?" tanya Zora.

"Gazza," balas Mahesa.

Zora menatap Mahesa terkejut.

"Lo temenan sama Gazza, lo sejak kecil suka sama bocah sialan itu." Zora mengangguk. Sepertinya Zora memang menyukai Gazza sejak hari ini.

"Dan lo ngelupain gue!" Zora terkejut saat tanpa aba-aba Mahesa memojokkannya ke pintu. Tubuh mereka benar-benar dekat saat ini.

Zora berusaha mendorong Mahesa, namun kekuatan Mahesa jelas bukan tandingannya. Mahesa benar-benar seperti tiang listrik jika berada di dekatnya.

"Aku enggak ngerti maksud kakak, aku lupa semuanya. Yang aku tau kita musuhan udah itu aja, tapi kenapa kakak bersikap kayak gini?!" Zora merinding saat Mahesa mengelus tengkuknya.

"Gue cinta sama lo, Zora." Bulu kuduk Zora meremang mendengar suara serak dan dalam Mahesa. Dia seperti tak mengenali siapa lelaki di depannya ini.

"Gue cinta mati sama lo, sampai rasanya rasa sakit yang lo berikan adalah bukti cinta yang lo kasih." Zora menggeleng kasar, dia mendorong Mahesa hingga terlepas dari kukungan pria itu.

Zora menatap horor Mahesa. Ini benar-benar gila, Mahesa benar-benar tidaklah waras. Bagaimana dia bisa berkata seperti itu, bagaimana Mahesa malah mencintainya, walau Zora yakin itu bukanlah cinta.

"Gue berusaha benci lo, sayangnya gue malah semakin candu." Zora memekik keras saat dengan kurang ajarnya Mahesa mengangkatnya dan mengukung Zora di sofa.

"Kak, tolong sadar." Zora berteriak keras dengan suara serak menahan tangis. Dia benar-benar takut saat ini dengan tingkah Mahesa.

"Gue mau miliki lo seutuhnya." Zora menggeleng kasar, dia berusaha membebaskan diri dengan cara apa pun.

Zora melebarkan mata saat Mahesa mengeluarkan tadi serta dari di bawah meja. Dia tak menyadari ada benda-benda itu, berarti Mahesa dengan sengaja menyusun semuanya.

Tangan dan kaki Zora diikat, bahkan mulutnya ditutup dengan cukup kuat oleh dasi hingga Zora tak dapat berteriak. Zora berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi terasa sulit.

Zora menangis dalam diam, wajahnya memerah menahan marah dan menangis. Dia semakin memberontak saat Mahesa sudah merobek bajunya dan melemparnya ke lantai.

"Gue berusaha nerima kebencian lo selama ini, jadi ini saatnya gue membuktikan cinta gue dengan cara gila yang udah gue susun selama ini." Zora menggeleng dia ingin berteriak sekeras mungkin, dia ingin berlari dan menjauh dari dunia ini. Jelas semua yang berada di sini gila.

Saat tubuh Zora hampir benar-benar tak tertutupi apa pun, Mahesa mengecupi semua tubuh Zora dari segala sisi. Zora semakin memberontak, tak peduli dengan tangannya yang terada begitu sakit karena goresan dari tali. Atau bahkan pipinya yang kebas karena dIa berusaha teriak.

"Makasih karena udah ngajarin gue sebagai antagonis dalam kisah lo, Zora." Zora memejamkan mata erat saat Mahesa mengecupi wajahnya tanpa cela.

Dalam hati Zora berharap mati kali ini juga dari pada hidup dalam kesengsaraan dalam tubuh Zora.

Next ga nih?

Gimana-gimana part kali ini?

Follow dulu dong kalau mau aku update lagi hehe.

Spam komen kuy kuy

Maaf ya kalau ga nyambung. Ini pertama aku nulis adegan seperti ini, mohon dimaklumi.

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang