Enam

66.9K 3.8K 48
                                    

Zora menatap bingung seorang gadis yang saat ini sedang berdri di depannya dengan senyum lebar. Zora mengernyit berusaha mengingat, karena dia merasa mereka pernah bertemu sebelumnya.

"Zora, maaf." Zora mengernyit heran.

"Maaf kenapa?" Zora bertanya kembali. Dia merasa gadis di depannya tak memiliki salah, bahkan dia tak mengenalnya.

"Gazza pasti nyalahin kamu." Gadis itu menunduk dengan mata berkaca-kaca.

"Gazza siapa?" Anya, gadis itu mengangkat kepalanya menatap Zora.

"Kamu lupa dengann Gazza?" Zora mengangguk yakin.

"Yang kemarin marah sama kamu, masalah kelinci." Zora mengangguk paham. Dia ingat dengan lelaki jahat yang membawa kelinci malang itu.

"Kasian kelincinya, kemarin aku sudah kubur." Anya kembali heran.

"Kamu kubur?" Zora mengangguk kembali. Sorot matanya meneduh, lalu menyentuh lengan Anya.

"Kenapa kelincinya bisa mati?" tanyanya sedih. Bahkan sejak kemarin dia tak berhenti menangis meratapi nasib kelinci yang malang.

"Anya!" Suara seseorang mengalihkan perhatian mereka berdua. Anya beringsut mundur, menatap Gazza dengan senyum tipis.

"Jangan ganggu Anya." Gazza, pemuda itu menarik Anya ke belakang tubuhnya. Pemuda itu menatap tajam ke arah Zora yang saat ini menatapnya tanpa ekspresi.

"Kenapa?" tanya Zora.

"Lo masih enggak dengerin ucapan gue buat jangan ganggu Anya?" Gazza menatap Zora dingin, hal itu membuat Zora bergidik ngerti.

"Aku enggak ganggu dia, tanya aja." Zora menujuk ke arah Anya.

"Zora enggak ganggu aku, Gazza." Anya menyentuh lengan Gazza, seolah menenangkan pemuda itu.

"Tuhkan!" Zora berucap keras hingga membuat Anya tersentak kaget.

"Dasar jahat, masak aku dituduh terus sih!" Zora mengerucuti bibirnya sebal. Dia kesal karena sejak kemarin semua orang menyalahkannya. Padahal Zora tidak melakukan apa pun.

"Mending kita pergi." Gazza menarik tangan Anya dari sana. Meninggalkan Zora yang menatap bingung ke arah dua orang itu.

"Mereka kayaknya pacaran deh," guman Zora.

Dia yakin pasti Gazza begitu sayang dengan Anya, tapi kenapa harus dirinya yang dituduh. Sepertinya ada yang salah dari hidup Zora yang sedang dia jalani saat ini. Zora akan mencari tau tentang semua itu.

                                 ***

"Kakak!" Zora berteriak hingga suaranya memenuhi seisi rumah.

Kakinya melangkah cepat menaiki tangga menuju ruang keluarga, dia yakin Raffael berada di sana. Sedangkan Zafia pasti kakaknya itu sedang berdiam diri di kamarnya.

"Kakak!" Raffael yang sedang bermain game menoleh, menatap tak suka Zora yang sudah duduk di sampingnya dengan senyum lebar.

"Kangen banget," ucapnya memeluk Raffael.

Raffel berdecak sebal, mendorong tubuh Zora hingga pelukan gadis itu terlepas.

"Bisa gausah sentuh gue?" Raffael berucap dingin dengan menatap Zora tajam. Bahkan wajah pemuda itu sudah memerah menahan kesal.

"Kenapa sih aku enggak boleh peluk Kakak?!" Zora bertanya kesal.

Dia sangat heran dengan kedua kakaknya. Mengapa mereka berdua seolah membenci Zora, padahal Zora adik mereka sendiri.

"Karena gue enggak sudi disentuh sama jalang kayak lo!" Raffael berucap penuh penekanan.

Mendengar ucapan menyakitkan dari Raffael membuat mata Zora berkaca-kaca. Sudut bibirnya melengkung karena menahan tangis. Sejak dulu saat dirinya hidup sebagai Adeline, tidak ada yang mengucapkan kata-kata kasar kepadanya.

"Padahal aku cuma pengen peluk," lirih Zora menundukkan kepala.

Raffael berdecih sinis, pergi dari sana tanpa mempedulikan Zora. Bahkan saat dia menyadari adiknya itu menangis, Raffael sama sekali tak peduli.

"Jahat banget!" ucap Zora kepada Raffael yang sudah pasti tak pemuda itu dengar.

Zora menjatuhkan dirinya di sofa, lalu menangis sejadinya di sana. Tanpa Zora sadari Raffael tak benar-benar pergi dari sana. Pemuda itu menatap Zora dengan tatapan heran, karena sebelumnya dia tak pernah melihat Zora secengeng itu.

Walau beberapa kali dia melihat Zora bersedih atas penolakannya, tetapi dia tak sampai melihat Zora berguling-guling di sofa sambil menangis keras. Persis seperti bocah kecil yang tak dibelikan mainan.

***

Zafia heran melihat Zora membawa kotak besar ke luar dari kamarnya. Lalu melihat gadis itu meletakkan kotak itu di sofa sambil memperhatikan isi kotak tersebut dengan tatapan bingung.

"Ini mau diapain, ya?" Zora bingung harus dikemanakan semua alat make up milik Zora.

Tidak dia tidak berniat membuangnya, hanya saja Zora merasa sayang sekali jika semua ini tidak terpakai dan berakhir dibuang. Zora juga tau semua alat make up ini harganya tidaklah murah.

Di kehidupannya dulu Zora jarang sekali menggunakan make up. Bukan karena dia tak suka, hanya saja dia tak bisa menggunakannya. Dan kulitnya dulu sangat sensitif sehingga Zora tidak bisa menggunakan banyak alat make up.

Zora mengedarkan pandangannya, lalu melihat Zafia yang ingin menaiki tangga ke arah kamar gadis itu.

"Kakak!" Zora berteriak nyaring, mengejar langkah Zafia hingga yang empunya menghentikan langkah.

"Kakak suka pakai make up?" Zafia tak membalas, hanya menatap datar ke arah Zora.

"Aku gatau mau diapain make up sebanyak itu. Sayang banget kalau kebuang sia-sia." Zafia sama sekali tak menanggapi ucapan Zora.

Walau Zafia agak bingung. Bagaimana bisa Zora yang begitu mencintai alat make upnya sekarang berniat menyingkirkan itu semua.

"Apa kakak mau?" tanya Zora antusias. Dia berniat membagi kepada Zafia. Karena yang dia tau biasanya seorang saudara sangat suka berbagi barang milik mereka.

"Gue enggak semiskin itu sampai enggak bisa beli barang-barang itu." Zafia tampaknya tersinggung dan salah mengartikan perkataan Zora.

"Bukan gitu!" Sangkal Zora.

"Gue enggak peduli!" Zafia langsung pergi dari sana, tak peduli dengan suara Zora yang memanggil namanya.

"Non Zora," panggil Bi Nana. Dia merasa sedih melihat tatapan Zora.

"Bi Nana," rengek Zora. Tatapan gadis itu berubah sendu, dan memeluk Bi Nana dengan erat.

"Aku gatau mau ke manain semua itu," lirihnya.

Bi Nana melepaskan pelukan mereka, menghapus air mata yang sudah memenuhi pipi gadis itu.

"Nanti kita bagiin ke orang-orang di kampung Bibi aja. Tapi kenapa Non Zora mau kasih ke orang semuanya?" Bi Nana ikut penasaran dengan keputusan majikannya itu.

Sebagai seorang yang sudah menjaga Zora sejak kecil Bi Nana sangat kenal bagaimana sifat Zora. Dia juga tau Zora begitu menyukai make up hingga membeli begitu banyak untuk dipakai setiap hari.

"Aku ga suka, aku enggak bisa pakainya juga." Bi Nana mengangguk maklum. Mungkin ini salah satu efek amnesia gadis itu, hingga melupakan caranya memakai make up.

"Sudah jangan sedih lagi," ucap Bi Nana mencoba menghibur. Zora mengangguk, lalu tersenyum lebar kembali.

"Jangan lupa bagiin ya, Bi," ucap Zora antusias.

"Siap, Non Zora!"

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Yuk bijak dalam membaca

Gimana pendapat kalian tentang Zora?
Anya?
Gazza?
Raffael?
Zafia?

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang