Zora tak tau berapa lama dia tertidur. Yang dia tau di ruang tamu terdengar suara begitu berisik yang membuatnya terganggu. Zora melangkahkan kakinya sambil sesekali mengucek matanya yang terasa memburam karena terlalu lama tertidur.
"Kakak sih, padahal aku kan menang!"
"Kamu emang enggak jago, jadi terima aja."
"Gazza bantuin aku dong!"
"Udah kamu jangan ngeladenin dia."
Zora mengernyit, dia mengenali suara-suara itu. Apa lagi saat nama Gazza disebut, dia yakin Gazza dan Anya berada di sini.
Zora bersembunyi di dekat pilar agar tubuhnya tak terlihat. Mata gadis itu menatap iri pemandangan di depannya. Tawa bahagia yang masuk dan menganggu telinganya.
Zora menyenderkan tubuhnya di pilar. Kedua matanya tak dapat menyembunyikan kesedihan, atau bahkan sebenarnya ini juga telah menyatu dengan perasaan Zora yang asli.
Anya hanya sepupu mereka, tetapi mereka semua memperlakukan Anya begitu baik. Sedangkan dirinya, mengapa dia sama sekali tak bisa merasakan hal itu.
"Zora?" Zora tersentak kaget saat seseorang sudah berdiri di depan tubuhnya.
Seorang pemuda dengan tubuh jangkung, rambutnya sedikit berwarna coklat, alis pemuda itu juga tebal. Zora mengenyit, dia merasa tak mengenal pemuda itu.
"Lo ngintipin mereka?" Zora langsung menggeleng.
"Lo iri?" Zora kembali menggeleng. Tapi tatapan gadis itu tak bisa berbohong, apa lagi sejak tadi Zora berusaha menghindari tatapan pemuda di depannya.
"Jangan pernah rusak kebahagiaan orang lain, cukup keberadaan lo menjadi mimpi buruk orang lain, jangan sampai tingkah lo juga." Setelah mengatakan hal-hal yang menyakitkan itu, pemuda yang Zora tak ketahui namanya pergi begitu saja.
"Dia siapa?" Zora bertanya entah kepada siapa.
Dia tau beberapa teman Gazza, karena beberapa kali pernah melihatnya di sekolah. Namun, untuk pemuda itu Zora sama sekali tak mengenalnya, atau bahkan melihatnya di sekolah.
"Apa dia temen baru Gazza? Atau teman Anya?" Zora tidak mendapat jawaban. Lagi pula siapa yang akan menjawab pertanyaannya di sini, sekarang dirinya benar-benar sendirian.
Zora memutuskan untuk pergi dari sana, sepertinya dia butuh mandi. Lagi pula percuma berlama-lama di sana. Bukankah kehadirannya tetap tak diinginkan. Lagi pula Zora tak ingin merusak kebahagiaan yang telah mereka semua ciptakan tanpa Zora.
***
Sebenarnya Zafia menyadari keberadaan Zora, bahkan dia melihat saat Saka menghampiri Zora yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk.
Zafia tak tau kenapa ada perasaan asing yang menjelajahi hatinya. Padahal sebelumnya Zafia tak merasakan ini, dia merasa jahat karena mengabaikan Zora. Namun, bukankah Zora pantas mendapatkannya.
"Zafia," panggil Raffael.
"Iya, Kak?" Zafia mengalihkan pandangannya. Tak ingin yang lain tau jika sejak tadi Zora memperhatikan mereka.
"Ditanyain Anya, tuh." Zafia menatap Anya, merasa tak enak karena telah mengabaikan gadis yang berstatus sebagai sepupunya.
"Kak Zafia kenapa?" Zafia menggeleng dan tersenyum tipis membalas pertanyaan Anya.
Anya mengangguk dan kembali mengobrol bersama yang lainnya. Sedangkan Zafia merasa tak tenang. Akhirnya memilih pergi dari sana membuat semuanya menatap penuh tanya.
"Zafia mau ke mana?" Devan bertanya heran, sedangkan yang lainnya langsung sama-sama menggeleng.
Zafia berjalan menaiki tangga. Matanya langsung menemukan Zora yang sedang duduk di salah satu kursi dekat jendela sambil melamun. Zafia hanya berdiam diri di tempatnya, tak berani melangkah mendekat. Hingga Zora menoleh dan mata keduanya bertemu.
"Kakak?!" Zora bangkit, menghampiri Zafia dengan senyum lebar menghiasi bibir mungil gadis itu.
"Kakak butuh sesuatu?" Zafia sama sekali tak berniat menjawab. Dia hanya menatap Zora dengan tatapan datar.
"Kakak laper perlu aku masakin, atau butuh yang lainnya?" Zora bertanya dengan antusias. Dia akan merasa senang jika Zafia menerima bantuannya. Tetapi sayang jawaban Zafia benar-benar di luar ekspektasi Zora.
"Bisa pergi dan jangan muncul di tengah kebahagiaan orang lain. Gue enggak tau niat buruk apa yang lo rencanain sesudah ini."
Senyum di bibir Zora seketika pudar. Mata gadis itu berkaca-kaca, terluka dengan ucapan Zafia yang benar-benar menyakiti hatinya.
"Jangan bersikap sok baik atau berusaha mengambil hati kami semua, karena lo udah cacat di mata kami." Zora mengangguk dengan air mata yang sudah berlinang menyusuri pipi mulusnya.
"Ya, aku minta maaf." Zora menghapus air matanya dan tersenyum ke arah Zafia yang masih menatapnya tanpa ekspresi.
"Terima kasih udah mau samperin aku untuk bilang semua ini," ucap Zora.
Zora pergi dari sana begitu saja dan memasuki kamarnya. Meninggalkan Zafia yang masih tak bergeming di tempatnya. Zafia sendiri gadis itu sudah mengepalkan tangannya.
Dia merasa benci, entah mengapa dia merasa ikut terluka dengan jawaban Zora. Padahal sebelumnya Zafia adalah orang pertama yang menanti kematian adik bungsunya itu.
Seorang adik yang merubah suasana rumahnya. Seorang adik yang sejak kecil begitu dia benci, sangat-sangat membenci Zora.
Kasian Zora
Sebenernya apa sih yang Zora lakuin sampai Zafia dan Raffael benci banget sama dia?
Yuk ikutin terus kisahnya
Jangan lupa komen kalau mau nyuruh author update.
Untuk double up author pending dulu. Tolong bantu share juga ya hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang Terbuang (END)
Teen Fiction⚠️ Mengandung adegan kekerasan (Cerita Lengkap!) Adeline hanya anak manja yang hidup penuh dengan keberuntungan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepadanya saat perasaan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Adeline harus mati terbunuh oleh musuh bisn...