Tiga Sembilan

55.6K 2.9K 125
                                    

Kata orang cinta itu adalah penggiring dari sebuah kebodohan. Benar adanya untuk Zora. Saat kelas satu SMP Anya sering sekali menginap di rumahnya, bahkan berada di SMP yang sama dengannya dan juga Gazza.

Awalnya Anya adalah anak manis yang Zora anggap adik sendiri, karena Zora sangat ingin memiliki adik sejak dulu. Sayangnya setelah memiliki dia hubungan kedua orang tuanya tidak cukup baik.

Sejak kecil Zora selalu berbagi segala hal kepala Anya, sayangnya Anya menyalah artikan saat kedua orang tuanya bersikap baik dengan Zora. Padahal kedua orang tuanya hanya kasihan dengan Zora yang selalu merasa kesepian dan tak memiliki teman.

Anya benci hal itu, dia berusaha mendekati dan mengambil perhatian Zafia dan Raffael. Semuanya berhasil karena sikap manjanya, berbeda dengan Zora yang terkesan cuek.

Zora tak pernah mempermasalahkan kedekatan Anya dan kedua kakaknya, tapi semua berubah ketika Anya berkenalan dengan Gazza. Anya mengambil perhatian Gazza.

Anya sering terjatuh, menangis, dan bersikap manja kepada Gazza, hingga dunia Gazza hanya terpusat kepada Anya setelah itu. Zora tak terima, jelas dia dari awal telah mengklaim Gazza adalah miliknya.

Sayangnya keduanya sama-sama keras kepala walau dengan cara berbeda. Anya tidak benar-benar menyukai Gazza, karena dia merasa Gazza adalah seorang anak lelaki yang sombong.

Tetapi dia iri ketika Gazza bersikap baik kepada Zora, dia merasa Zora paling beruntung karena memiliki segala hal dibanding dirinya.

Ditambah orang tua Anya adalah orang yang sederhana, segala yang Anya mau tidak selalu dituruti, berbeda dengan Zora yang bergelimangan harta. Tanpa Anya tau, Zora sebenarnya tidak menginginkan semuanya.

Awalnya sikap keduanya hanya sikap anak-anak yang belum mengerti apa-apa, sayangnya semua terbawa hingga dewasa. Zora semakin bertambah kasar, dia tak segan membully Anya yang notabenya sepupunya sendiri.

Zora selalu marah ketika Anya bermain ke rumahnya, dan memakai barang-barangnya tanpa izin bahkan tak segan-segan merusak barangnya.

Semakin lama keduanya semakin jauh, Anya yang bertahan dengan sikap baik namun palsunya, dan Zora dengan kebencian yang berkobar di dalam hatinya. Sejak itu dia menunjukkan kuasanya, kuasa orang tuanya, hingga Anya semakin iri dengan kehidupan Zora apa lagi ketika ayahnya semakin bangkrut.

"Jadi aku bisa dapetin segalanya." Anya tersenyum penuh kemenangan di saat semua orang menangis di acara pemakaman Zora.

Dia menyenderkan tubuhnya ke tembok, menyaksikan drama tangis menangis dari orang-orang yang merasa menyesal, tidak untuknya.

"Anya," panggil seseorang.

Anya menoleh tersenyum sinis melihat seseorang yang selama ini bekerja sama dengannya datang dengan wajah segar, tak menggambarkan kesedihan di wajahnya.

"Semuanya udah setimpal, bukan?" Gadis dengan baju paling mencolok itu mengangguk penuh kemenangan. Dia ikut menatap jasad Zora dengan pandangan puas.

"Seharusnya dia aja yang mati, dari pada gue hidup menderita." Anya tertawa pelan. Keduanya sama sekali tak peduli jika ada yang melihat mereka, atau bahkan topeng keduanya terbongkar.

Karena tujuan mereka telah selesai, keduanya telah sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkn sejak dulu. Kematian Zora.

"Seharusnya sedih lo, kan sepupu lo baru meninggal."

"Ogah, lo noh saudara tiri lo." Gadis itu tertawa pelan mengangguk beberapa kali.

Saudara tiri, ya?

"Dira topeng lo mulus juga selama ini," ucap Anya.

Dira tersenyum lebar. Benar juga, dia terlalu banyak memakai topeng selama ini. Sayang sekali orang bodoh itu telah meninggal sebelum mengetahui siapa dirinya sebenernya.

"Seharusnya dia yang mati dari awal, karena dia gue jadi anak yatim." Jelas inilah alasan Dira sebenarnya.

Dira merupakan saudara tiri Zora, seseorang yang membuat kehidupan Zora hancur. Anak dari selingkuhan papanya yang membuat kedua orang tuanya bertengkar setiap hari.

Sudah sejak lama papa Zora menikah siri dengan ibu Dira, sejak itu semua kebutuhan Dira tercukupi dengan papa tirinya itu, dia hidup bergelimang harta. Sayangnya Zora membunuh papa tirinya, dan semuanya lenyap.

Ibu Dira tak terima, dia memaksa Dira untuk bekerja bahkan menjual tubuhnya asal mendapatkan banyak uang. Dira marah, dia benar-benar marah saat kebahagiaannya sirna begitu saja.

Sejak saat itu Dira mendekati Zora, berusaha menjadi sahabat terbaik gadis itu. Walau nyatanya Dira adalah iblis sebenarnya dalam kisah ini. Dira membuat kehidupan Zora benar-benar hancur.

Dira selalu membuat masalah, dan dia akan melibatkan Zora. Dia selalu membuat Zora salah dari berbagai sisi, salah satunya kejadian hoodie waktu itu. Itu dirinya, dia yang sengaja mencuri hoodie milik Zora.

Cukup menyenangkan, walau dia tak mendapatkan uang dari ayah tirinya setidaknya dia memiliki uang dari Zora. Dia membodohi Zora dengan selalu mengambil apa yang gadis itu punya. Bodohnya Zora hanya menurut karena menyangka Dira adalah sahabat terbaiknya.

"Tapi—" Dira menoleh ke arah Anya.

"Yang ngasih obat perangsang ke papa lo itu gue loh," bisik Anya penuh percaya diri.

Dira menoleh, menatap Anya tak percaya. "Setan lo, jadi lo juga salah bokap gue mati!" Anya mengedikkan bahu tak peduli, selagi itu bukan orang tuanya.

"Lagi pula lo senengkan Zora menderita?"

"Gue juga menderita, sialan!" Dira pergi dari sana dengan perasaan kesal dengan penuturan Anya, walau sebenarnya dia agak marah.

"Jadi wajar dong Zora bunuh seseorang yang udah memperkosa dia, seharusnya lo paham dong." Dira tertegun, dia menatap ke arah Zafia yang masih menangis di samping jasad Zora yang sebentar lagi akan dimakamkan.

"Lo juga pernah ngerasainkan, gimana rasanya?" Anya tersenyum puas saat menyaksikan raut wajah teduh Dira. Berbeda dengan tadi penuh percaya diri dan berapi-api.

"Bukannya itu emang pantes buat cewek gantel kayak Zora?" Dira mengepalkan tangannya.

Jelas dia tau rasanya, dia pernah merasakan itu. Dia dijual oleh ibunya sendiri, dia masih ingat saat malam kelam itu menghancurkan dirinya.

"Lo jahat tau ga?"

"Lo juga!" Anya mendorong bahu Dira dengan telunjuknya.

"Lo gila Anya, gimana pikiran lo sampai bisa buat papa ngelakuin itu sama anaknya sendiri. Zora sepupu lo, Zora juga sayang sama lo!"

"Lo juga saudaranya?" Dira pergi dari sana dengan perasaan kesal, sesak l, dan entah kenapa merasa bersalah.

Dia berdiri di dekat tubuh Zora, dia merasa tubuhnya meremang, seolah ada yang meremas jantungnya. Entah bagaimana tanpa dikomandu air mata turun dari kedua matanya.

"Zora," lirih Dira.

Dia tidak menyesal, tetapi dia merasa bersalah, Dira tidak tau bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini. Bagaimana bisa dia membuat Zora seperti ini setelah dia sendiri tau jika menjadi korban pelecehan adalah hal yang menyakitian.

Tetapi dia tidak benar-benar yakin waktu itu, dia tidak tau apa penyebal Zora membunuh papa mereka. Dira buta dengan uang, dia buta dengan harta yang selama ini memanjakannya. Tanpa sadar jika rasa sakit yang lebih besar adalah milik Zora.

Ayahnya sendiri, keluarganya sendiri yang menyakitinya. Bahkan Dira merasa hancur saat orang lain menghancurkannya. Zora, ayahnya sendiri yang melakukan hal itu.

"Zora!" Tubuh Dira luruh, dia memeluk tubuh kaku Zora penuh erat. Dia terisak keras. Penuh penyesalan, penyesalan yang mungkin akan bertahan selamanya.

Belum end loh

Gimana respon kalian?

Yuk vote dan komen dong untuk dukungannya.

Tencu yang udah baca, komen, vote, bahkan follow.

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang