Zora hanya bisa duduk di taman belakang rumahnya sembari memperhatikan bunga-bunga yang bergoyang ke sana ke mari. Zora merasa kesepian berada di sini, semuanya terasa asing bagi jiwa Zora yang baru.
Jika sebelumnya dia merasa selalu bahagia saat ibunya selalu ada, bahkan teman-temannya yang selalu perhatian. Sekarang semuanya berbeda, dia tak memiliki seseorang di sini.
Apa lagi hari ini, Raffael dan Zafia belum pulang ke rumah padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sebenarnya Zora agak takut, hanya saja dia tak suka berada di rumah yang terasa sepi itu.
"Padahal sebelumnya aku kesepian karena enggak punya saudara, tapi sekarang sama aja." Zora menghela napas kasar.
Sampai suara keras terdengar dari dalam rumahnya. Zora bangkit untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Setau Zora Bi Nana sudah tidur sejak tadi.
"Zora!" Suara keras memanggil namanya membuat Zora semakin melangkah lebar. Dia yakin itu suara Raffael, tapi kenapa dia mencari Zora.
"Sialan!" Raffael tiba-tiba langsung mendorong Zora kasar. Zora yang tak ada persiapan langsung terjatuh cukup keras ke lantai.
"Bangun lo!" Raffael menarik kerah baju Zora, membawa Zora mendekat ke arahnya. Saat ini keduanya saling pandang, jarak keduanya begitu dekat.
Zora hanya bisa menatap bingung Raffael yang terlihat sangat malah kepadanya.
"Lo bener-bener iblis!" Raffael semakin mencengkram kerah baju Zora hingga membuat yang empunya kesakitan.
"Kenapa?" Zora bertanya bingung. Kenapa tiba-tiba dirinya disebut iblis, padahal dia tak melakukan apa pun.
"Lo kan yang ngerusak semua barang Papa?" Zora langsung menggeleng mengelak apa yang Raffael ucapkan.
"Sialan!" Tumbuh Zora didorong kasar begitu saja hingga membuat tubuh mungil Zora menabrak meja.
Zora meringis merasakan lengannya sakit, tetapi Zora ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Zora bangkit berusaha menahan sakit pada lengannya dan berjalan ke arah Raffael yang terlihat begitu frustasi.
"Aku enggak tau apa yang kakak omongin." Zora menautkan kedua tangannya, takut jika Raffael kembali mengamuk.
"Aku bener-bener enggak ngelakuin yang kakak maksud." Raffael kembali menatap ke arah Zora. Kali ini tatapannya masih menyiratkan kebencian seperti biasanya.
"Setelah lo bunuh Papa, sekarang lo mau rusakin semua barang peninggalan bokap lo sendiri?"
"Bunuh?" Zora menutup mulutnya terkejut mendengar penuturan Raffael.
"Ya, pembunuh!" Raffael menabrak bahu Zora kasar, pergi dari sana meninggalkan Zora sendirian.
Zora tak berdeming di tempatnya. Ucapan Raffael terngiang-ngiang di kepalanya. Apakah karena itu semua orang menjauhinya, tapi kenapa Zora sampai tega membunuh ayahnya sendiri.
"Zora sebenernya apa yang terjadi?" lirih Zora.
Zora tak tau mengapa di harus di sini, dia tak tau mengapa tak ada sedikit ingatan pun tentang tubuh ini. Lalu sebenarnya apa alasan Zora begitu dibenci, apakah karena dia pembunuh?
Zora mengacak rambutnya frustari, sebenarnya apa yang terjadi di dunia ini. Bagaimana bisa Zora tega membunuh ayahnya sendiri, jika benar berarti saat ini dia juga orang jahat.
Pantas saja dia dibenci, Zora memaklumi itu. Seharusnya Zora meminta maaf bukan malah merasa tak bersalah seperti ini.
Zora melangkah cepat, mengetuk pintu kamar Raffael sedikit kencang hingga seseorang yang mempunyai kamar itu menampakkan diri.
Raffael menatap kesal Zora, bahkan masih ada kilatan kemarahan dari mata lelaki itu. Zora paham mengapa Raffael sampai membencinya seperti ini. Karena Zora sungguh keterlaluan.
"Kakak," cicit Zora lembut.
"Maaf," lirihnya menatap wajah Raffael dengan mata berkaca-kaca yang siap menjatuhkan setiap bulir air matanya.
"Aku enggak ingat kalau aku pernah sejahat itu." Raffael berdecih sinis menatap ungkapan Zora yang benar-benar terasa memuakkan untuknya.
Dia merasa jika Zora tidak pernah tulus untuk meminta maaf. Karena selama ini Zora bahkan tak pernah mengeluarkan kata itu, bahkan setelah dia mengetahui kesalahannya.
"Maaf kalau aku pembunuh — argh." Zora memegang dadanya yang terasa begitu sakit. Awalnya Raffael ingin membantu, tapi pria itu urungkan dan malah menutup pintu kamarnya kasar.
Zora merintih kesakitan, dadanya terasa begitu sakit hingga tanpa sadar gadis itu menangis. Zora berusaha meraih apa pun, tubuhnya terasa begitu lemas sekarang.
"Kakak," panggilnya berniat meminta pertolongan. Sayangnya Raffael seakan tak peduli.
Zora tak tau mengapa rasa sakit ini tiba-tiba datang, rasa sakit yang sama saat dirinya tertusuk. Tetapi bukannya dirinya saat ini sudah sembuh, lalu mengapa rasa sakitnya malah bertambah parah.
Tubuh Zora terjatuh di lantai saat merasa tak dapat menahan tubuhnya lagi. Hingga hanya kegelapan yang mengapa mata dengan bulu mata lentik itu.
Raffael sebenarnya khawatir, tetapi rasa bencinya lebih besar. Lagi pula dia yakin jika itu hanya kebohongan Zora, dia tau bagaimana sifat licik adiknya itu.
Sayang banget banyak yang baca tapi enggak meninggalkan jejak.
Kalau banyak yang komen minimal 1 hari sekali aku update deh.
Yuk tinggalkan jejak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang Terbuang (END)
Fiksi Remaja⚠️ Mengandung adegan kekerasan (Cerita Lengkap!) Adeline hanya anak manja yang hidup penuh dengan keberuntungan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepadanya saat perasaan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Adeline harus mati terbunuh oleh musuh bisn...