Zora kira mungkin pagi ini Anya akan langsung pulang ke rumahnya. Ternyata salah, saat sarapan gadis itu masih berada di sana dengan kedua kakaknya.
Zora tampak tak peduli, karena moodnya pagi ini memang tidak cukup baik. Bahkan dia sama sekali tak menyapa ketiga orang selain dirinya yang berada di sana.
Raffael dan Zafia tampak cuek. Tetapi sepertinya tidak untuk Anya yang malah menyapanya.
"Pagi, Zora!" Zora melirik sekilas, lalu mengangguk.
"Udahlah, jangan menyapa orang yang enggak bisa menghargai kamu," ucap Raffael.
"Itu tau," sindir Zora.
Karena dia mendapat perlakuan seperti itu, walau semakin ke sini Zora semakin berusaha tak peduli. Karena percuma saja tidak ada yang berubah, jadi lebih baik dia mengikuti alur yang sudah berjalan sejak awal. Walau semuanya lumayan hancur saat kedatangannya.
Zora hanya melahap roti cepat-cepat, dia merasa malas berada di sana lama-lama. Zora menatap heran Anya yang meminta diantar oleh Raffael, padahal jarak sekolah dan kampus Raffael cukup jauh. Dan sialnya Raffael mengiyakan itu.
Zora memutar bola mata malas, langsung berlalu dari sana begitu saja. Sepertinya sebagai orang asing dia tak perlu merusak suasa bahagia mereka.
"Kayaknya Zor enggak suka aku di sini," ucap Anya setelah Zora benar-benar pergi dari sana.
"Enggak usah dipikirin, sifat dia kan memang selalu buruk," balas Raffael.
"Makasih, Kak. Maaf kalau aku ngerepotin. Makasih juga udah izinin aku tinggal di sini beberapa minggu."
Ya, benar sekali. Anya akan menginap di rumah mereka beberapa hari karena kedua orang tuanya akan tugas di luar kota. Zafia dan Raffael sama sekali tak keberatan karena keduanya sudah menyayangi Anya seperti adik mereka sendiri.
***
(Percepat)
Zora semakin heran saat menemukan keberadaan Anya di rumahnya setelah pulang sekolah. Dia kira Anya sudah pulang ke rumah gadis itu.
Tapi bukan karena itu, Zora merasa heran saat menyadari barang-barangnya dipakai oleh Anya tanpa izinnya.
Dress pink miliknya yang baru saja dia beli beberapa hari, otomatis dia belum memakainya. Lalu Zora juga sadar jika kalungnya juga sedang Anya pakai. Jepit rambut, bahkan sandal rumah.
"Anya!" Zora memanggil sedikit berteriak.
Anya yang sedang asik menonton sambil memakan camilan menoleh, lalu tersenyum ramah kepada Zora yang berjalan menghampiri.
"Ini baju aku kan?" Anya mengikuti arah tunjukan pada bajunya. Lalu tanpa rasa bersalah gadis itu mengangguk.
"Siapa yang ngizinin kamu? Itu aku baru beli loh. Terus kalung, sandal?" Zora benar-benar tak habis pikir. Mungkin dia akan memaklumi jika Anya meminjam bajunya, tapi kalung?
"Kata Kak Zafia boleh pakai apa pun yang ada di rumah ini. Terus aku nemuin kalung sama baju kamu yang keliatan lucu, jadi aku pinjem ya?" Zora tertawa tak habis pikir. Semudah itu? Bahkan mereka berdua tak pernah akrab sebelumnya.
"Kamu tau kan aku enggak sebaik itu?" Lagi-lagi Anya mengangguk.
"Jadi ... Tolong bisa jangan lancang?" Zora tak dapat menahan kekesalannya.
Zora memang terlahir dari keluarga kaya, dia bisa membeli apa saja yang dia mau. Tetapi Zora sejak dulu menjadi anak tunggal, otomatis dia selalu menjadi satu-satunya. Melihat tinggal Anya, jujur saja Zora sedikit tidak suka.
"Kamu kenapa pelit banget, sih? Padahal Kak Raffa dan Kak Zafia aja izinin aku nganggep ini rumah aku sendiri!" Anya yang biasanya diam pun memperlihatkan kekesalannya di depan Zora.
"Setidaknya tau diri," ucap Zora penuh penekanan.
Tanpa mau berkata apa pun lagi Zora pergi dari sana. Dia tidak akan mengambil barang-barang yang sudah orang lain gunakan. Persetan baju yang baru saja dia beli, atau kalung favoritnya.
Setelah sampai di kamar Zora melempar tasnya ke sembarang arah. Lalu mengedarkan pandangannya menatap kamarnya yang sudah tak berbentuk.
Bahkan Zora yakin ada lebih banyak barang yang Anya ambil dari kamarnya. Zora mengacak rambutnya frustasi, lalu menendang buku yang berada tempat di depan kakinya.
"Emang orang enggak tau diri!" teriak Zora. Dia sama sekali tak peduli jika Anya mendengarnya, dia malah berharap Anya mendengar agar menyadari jika perbuatannya itu adalah hal yang buruk.
Setelah berganti pakaian Zora kembali turun ke bawah. Dia penasaran apa yang sedang Anya lakukan, ternyata gadis itu sedang bermain ponsel sambil merebahkan tubuh di kursi.
Zora mendekat, lalu duduk tak jauh dari tempat Anya. Anya yang menyadarinya pun meletakkan ponselnya, lalu bangkit menghadap Zora.
"Kamu ngacakin kamar aku?" tanya Zora to the point.
"Iya, lagi pula biarin aja kan kamu punya pembantu. Aku juga izin ya, ada beberapa baju kamu yang aku bakal pakai beberapa hari selama di sini." Anya berkata tanpa beban.
"Iya, ambil aja. Aku emang dari dulu suka sedekah sama orang miskin haus kasih sayang." Anya tampak tersinggung dengan ucapan Zora.
"Kamu ngatain aku?" Zora mengedikkan bahu tak peduli.
"Kamu jangan berani ganggu aku, kamu tau kan semua orang sayang sama aku?" Zora mengedikkan bahu tampak tak peduli.
Tanpa diberitahu pun Zora tau, semua orang tampak seperti bodyguard Anya. Bahkan kedua kakaknya sekalipun.
"Anya!" Obrolan keduanya terhenti dengan kehadiran Zafia dengan dua paperbag besar.
Zafia berjalan ke arah Anya, lalu memberikan salah satu paperbag itu kepada sepupunya itu. Tanpa peduli dengan keberadaan Zora, adik kandungnya.
"Wah, apa ini Kak?" Anya tampah antuasias menerima pemberian Zafia.
"Baju, sepatu, sama keperluan lainnya." Anya tersenyum lembut lalu memeluk Zafia erat.
"Makasih, Kak. Kakak udah baik sama aku, bahkan enggak keberatan dan malah bilang aku harus anggap ini rumah aku sendiri." Zafia tersenyum dan mengelus rambut Anya yang dikucir asal-asalan.
"Ini juga rumah kamu." Zora memutar bola matanya dan pergi dari sana.
Sepertinya tanpa televisi dia sudah dapat menonton sinetron. Sungguh menyebalkan berada di dunia yang serba menjengkelkan ini.
Zora kembali masuk ke dalam kamarnya. Memutuskan menonton drakor favoritnya, dari pada pusing memikirkan Anya. Walau sebenarnya Zora masih tampak tidak iklas dengan beberapa barangnya yang diambil tanpa sepengetahuan dirinya.
Hai-hai
Makasih buat yang komen dan baca cerita aku.
Aku bener-bener lagi enggak mood beberapa hari ini, cari motivasi menulis pun rasanya enggak berhasil.
Yuk vote dan komen!
Anya udah nujukin nih sifat nyebelinnya tipis-tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang Terbuang (END)
Fiksi Remaja⚠️ Mengandung adegan kekerasan (Cerita Lengkap!) Adeline hanya anak manja yang hidup penuh dengan keberuntungan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepadanya saat perasaan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Adeline harus mati terbunuh oleh musuh bisn...