Tiga

83.3K 4.5K 3
                                    

"Amnesia?" Suara tawa mengejek terdengar memasuki indera pendengaran Adeline yang masih memejamkan mata.

"Bahkan dia mati pun gue enggak peduli!" Adeline berusaha membuka matanya saat suara beberapa orang memasuki indera pendengarannya, suara yang benar-benar asing.

"Zafia seharusnya sebagai perempuan lo bisa ngajak ngomong Zora dan buat dia sadar diri!"

"Bukan urusan gue." Kali ini suara perempuan terdengar.

Adeline mengerjap saat berhasil membuka matanya yang terasa begitu berat. Gadis itu menatap sekelilingnya dengan pandangan bingung, apa lagi saat mendapati semua orang di dalam sana menatapnya tajam.

"Kalian siapa?" Adeline bertanya dengan suara bergetar. Dia merasa dikuliti oleh tatapan orang-orang itu.

"Bisa udahin?" Adeline semakin mengernyit saat mendengar suara lelaki dengan tubuh tinggi dengan rambut yang hampir menutupi dahinya.

"Kenapa enggak mati aja sih sekalian!" Ucap seorang perempuan yang saat ini bersedekap dada dan mendekat ke arahnya.

"Aib kayak lo itu mending musnah, penjahat yang enggak pantas hidup!"

Tubuh Adeline bergetar mendengar ucapan-ucapan menyakitkan itu. Seumur hidupnya tak ada yang berani berbicara kasar seperti itu kepadanya, bahkan kedua orang tuanya sekali pun.

"Aku mau pulang." Adeline bangkit dari ranjang, berjalan ke arah pintu yang untung saja tidak terkunci.

Adeline menatap rumah besar yang dia tempati saat ini, bahkan rumah ini lebih besar dari rumahnya dulu. Namun, rumahnya benar-benar menyeramkan, Adeline takut jika terus berada di sini.

Air mata gadis itu turun menyusuri pipinya yang sedikit chubby. Adeline berusaha menutup mulutnya dan berlari ke luar dari rumah besar itu. Dia tak mau bertemu dengan orang-orang jahat yang menatapnya penuh kebencian, dia tak tau apa salahnya.

"Zora sialan, mau ke mana lo!" Adeline menutup telinganya, melangkah semakin cepat bahkan tak peduli jika saat ini dia tak menggunakan alas kaki.

Kaki mulusnya terasa sakit, Adeline semakin menangis kencang karena hal itu. Dia ingin pulang bertemu Mama dan Papanya.

"Udah biarin aja, nanti juga pulang sendiri," ucap seorang pemuda dengan rambut rapi. Tatapannya begitu dingin dan tajam.

"Selalu aja ngedrama, gue cuma takut Zora nyelakain Anya." Seorang gadis bernama Zafia itu berucap sedikit khawatir.

"Tenang aja, gue abis ini nemuin Anya," ucap pemuda dengan rambut acak-acakan tadi.

"Gue mau ke dalem, males ngurus yang enggak penting." Zafia masuk ke dalam rumah, meninggalkan kedua pemuda yang saling menatap dingin itu berdua.

"Gue mau ke tempat Anya," ucapnya.

"Hati-hati, Mahesa." Pemuda yang dipanggil Mahesa itu menganggukkan kepalanya.

Di sisi Adeline. Gadis itu tak tau harus pergi ke mana. Semuanya tampak asing di matanya, dia tak tau saat ini sedang berada di daerah mana.

"Ini di mana, sih?" Adeline memijat pelipisnya yang terasa pusing.

Dia bingung mengapa bisa tersesat di tempat yang asing ini. Apakah saat mereka mencoba membunuhnya lalu menculiknya. Namun, mengapa Adeline tak melihat pembunuh yang sempat menusuknya itu. Dia malah bertemu dengan orang-orang asing yang malah memarahinya.

Adeline berjongkok di pinggir jalan. Hari sudah mulai sore, tetapi dia tak tau harus peegi ke arah mana. Jalanan yang dia lalui ini begitu sepi, hanya dikelilingi rumah-rumah mewah yang seperti tak memiliki penghuni.

Adeline dapat menebak jika sebelum dia bangun tadi hujan turun cukup deras, terbukti dengan beberapa genangan air di jalanan, salah satunya berada tepat di kakinya.

Adeline menunduk guna melihat wajahnya yang terasa begitu berat, seperinya sudah lama tak mencuci wajah.

"Ini siapa?!" Adeline bangkit menunjuk ke arah genangan air dengan mata membesar dan bibir yang terbuka lebar.

Bayangan di genangan air sudah pasti bukan miliknya, dia masih ingat jelas bagaimana bentuk wajahnya. Dia itu gadis pendek yang cukup berisi, ditambah dengan matanya yang sedikit sipit.

Namun, ini jelas bukan dirinya. Kenapa dia tak menyadari dengan perubahan bentuk badannya. Mungkin tingginya sama, hanya saja kali ini Adeline merasa tubuhnya lebih kurus, pipinya juga terasa tidak sechubby dulu.

"Kenapa aku berubah?" Adeline kembali berjongkok, memastikan jika bayangan di genangan air itu memang dirinya.

"Aku yakin aku udah gila!" Adeline menjambak rambutnya kasar. Dia tak bisa menerima ini. Bangun di tempat asing dan kali ini tubuhnya berubah.

"Apa mereka melakukan operasi plastik sama tubuh aku? Tapi kenapa?"

"Orang-orang itu menyebut aku Zora, bagaimana bisa?" Adeline menjambak rambutnya lebih kasar. Semuanya tak masuk akal, Adeline tak tau harus menyikapi Bagaimana di situasi seperti ini.

"Aku mau pulang!" teriaknya menggema mengisi kesepian sore hari ini.

Adeline merasa kepalanya berputar, seluruh penglihatannya terasa tak jelas. Adeline meringis dan menekan kepalanya agar rasa sakit itu hilang. Sampai mata Adeline menemukan seorang gadis yang berlari ke arahnya.

"Zora!"

Hanya suara terakhir itu yang Adeline dengar sebelum terjatuh dan menutup matanya.

TBC

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang