Tiga Lima

54.8K 3.1K 203
                                    

Pertama kali Zora membuka mata yang dia temukan hanya keheningan. Kepalanya begitu berat, begitu pun matanya yang terasa ingin selalu terpejam. Zora menatap kosong pada tangannya yang terimpus, lalu tanpa aba-aba gadis itu menangis dengan keras.

Zora duduk, menenggelamkan kepalanya di lipatan lututnya. Dia mengingat semuanya, semuanya tak terlewat satu pun. Tubuh gadis itu bergetar hebat, rasanya ada sesuatu yang besar mengganjal dadanya hingga kesulitan bernapas.

Zora, gadis malang korban pemerkosaan, gadis malang yang dianggap sebagai antagonis jahat yang tak pantas bahagia. Nyatanya Zora memang tak pernah bahagia.

Pertengkaran kedua orang tuanya, dituntut selalu menjadi sempurna, masa remajanya yang hilang, orang yang dia cintai tidak pernah mencintainya, semua orang membencinya.

Lebih parahnya lagi Zora adalah dia, Zora yang nyata. Zora menjambak rambutnya kasar, dia berteriak keras melampiaskan kemarahannya. Hingga seorang dokter datang, tidak sendirian ada empat orang yang dia kenali di sana.

Zora tidak dapat tenang, dia panik, di marah, dia khawatir sampai rasanya tak dapat mengontrol dirinya. Zafia yang baru saja datang bersama ketiga orang lainnya terkejut melihat Zora yang sedang mengamuk dipegangi oleh beberapa orang suster.

Zafia sontak menoleh kepada Mahesa, jelas dia yakin ada apa-apa yang terjadi dengan adiknya itu.

"Gue bisa jelasin," ucap Mahesa pada akhirnya.

Dia tak berani menyembunyikan apa pun, apa lagi setelah melihat kondisi Zora, dia merasa sangat bersalah. Zafia pergi ke luar lebih dahulu, ikuti dengan yang lainnya yang sama ingin mendengar penjelasan Mahesa.

"Kenapa dia bisa kayak gitu?" Zafia bersedekap dada. Walau dia membenci Zora, bukan berarti dia tak peduli dengan kondisi adiknya yang dapat dibilang tidak baik-baik saja. Atau bahkan dirinya hanya penasaran.

"Gue enggak bisa nahan diri." Gazza yang berada di sana semakin mendekat, perasaannya semakin tak enak melihat raut wajah Mahesa.

"Gue lecehin dia." Tanpa bisa dicegah Gazza meninju Mahesa, sedangkan Raffael ingin mendekat tetapi Zafia menahannya.

"Sialan lo! Jangan karena lo benci lo bisa berbuat gila!" Raffael berteriak marah. Begitu pun dengan Gazza yang sudah meninju Mahesa berulang kali.

Mahesa tidak melawan, dia tau dia salah. Walau jahat sebenarnya Mahesa tak benar-benar ingin menyakiti orang lain, terlebih orang yang dia cintai.

Zafia menggenggam tangan kakaknya erat, jelas dia terkejut, jelas dia marah. Sebagai seorang perempuan dia tau bagaimana perasaan Zora, terlebih Zora adalah adik kandungnya sendiri.

Tak lama dari itu satpam datang memisahkan mereka, begitu pula dengan dokter yang baru saja ke luar dari ruangan Zora dengan wajah yang sulit dijelaskan. Zafia merasa tubuhnya melemas saat mendengar kondisi sang adik.

"Nona Zora sepertinya mengalami trauma karena beberapa kasus, salah satunya trauma karena pelecehan, apakah Nona Zora pernah mengalami itu?" Zafia mengangguk dengan kaku sebagai jawaban.

"Kalian bisa menemui pasien, tetapi tolong jangan begitu membuat keributan dan membuat pasien tidak nyaman."

"Makasih Dok," ucap Raffael.

Raffael mendorong Mahesa yang akan ikut masuk, dia menatap Mahesa dengan tatapan tajam penuh kemarahan, lalu beralih masuk tanpa berkata apa pun.

Zora di dalam ruangan rawatnya hanya diam saja tanpa ekspresi. Wajah gadis itu sangat pucat, tangannya mengepal kuat hingga tidak menyadari orang-orang di dalam sana sedang menatapnya.

"Mahesa sialan," ucap Gazza penuh kemarahan.

Dia sudah melampiaskan kemarahannya dengan pukulan, tetapi jelas semuanya tidak selesai. Gazza ingin memberikan yang lebih parah dari hal itu. Melihat Zora entah kenapa Gazza merasa ada sesuatu yang menusuk di dalam dadanya.

Gazza mendekat, walau dia memiliki hubungan yang tak begitu baik dengan Zora, tetapi dia lebih baik dari pada Zafia maupun Raffael. Gazza mendekat ke arah Zora, dia terkejut saat Zora menoleh ke arahnya dengan mata memerah yang siap menumpahkan air mata.

"Kenapa gue bukan Adeline?!" Zora berteriak marah, air matanya turun menyusuri pipi pucatnya.

"Kenapa Adeline cuma khayalan gue, kenapa gue Zora?!" Gazza berusaha merengkuh tubuh Zora, tetapi tak berhasil Zora malah mendorongnya kasar.

Semua yang berada di sana tertegun, berusaha mengerti apa yang Zora ucapkan. Walau mereka sama sekali tak mengerti tentang hal itu, Zafia yang merasa sama-sama perempuan mendekat. Dia menyentuh tangan Zora dengan lembut. Terlepas dari kejahatan Zora, Zafia tidak bisa melihat hal ini.

"Kak kenapa gue Zora, kenapa gue beneran Zora? Kenapa gue enggak jadi Adeline? Kenapa gue Zora sialan!" Zora menjambak rambutnya kasar, Zafia berusaha menahannya walau sedikit kesulitan.

"Gue capek, gue enggak mau hidup lagi!" Raffael yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka mendekat, berusaha menahan tangan Zora yang berusaha mengambil gelas di atas nakas.

"Zora," panggil Raffael lembut. Zora tertegun, dia menatap sang Kakak dengan wajah linglung.

"Jangan." Zora semakin menangis keras, Zafia membawa tubuh Zora ke dalam pelukannya membiarkan Zora menangis sepuasnya di sana.

"Papa memperkosa aku." Ucapan Zora bagai petir disiang bolong bagi Zafia, Raffael, serta Gazza.

Zafia menjauhi tubuh Zora, menatap wajah gadis itu dengan wajah tak suka. Jelas dia tak suka saat ayahnya dituduh dengan seorang pembunuh.

"Jangan asal bicara Zora, enggak cukup kamu bunuh papa? Gue udah cukup sabar ngadepin lo!" Zora memejamkan mata erat, tubuhnya bergemetar hebat berusaha menahan dirinya.

"Kalau gini sekalian aja lo mati, orang jahat kayak lo emang pantes dapetin ini semua. Ga cuma Mahesa, lo pantes dapetin hal kayak gini dari siapa pun. Pembunuh, orang gila macam lo emang pantes dapetin semua ini!" Zafia berlari pergi dari ruangan inap Zora, begitu pun dengan Raffael yang tampak marah.

Zora menatap kosong pada Gazza yang saat ini sedang menatapnya juga. Dia berharap, hanya harapan andai saja Gazza menjadi satu-satunya orang yang percaya dengannya.

"Lo bener-bener gila."

Runtuh dunia Zora semakin hancur. Semua orang tidak ada yang percaya padanya, bahkan Zafia berkata dia pantas mendapatkan semuanya. Mungkinkah Zora memang pantas karena terlalu jahat di dunia ini.

"Gue enggak salah sialan, kalian semua yang salah. Gue, gue." Zora meraih apa pun yang dapat dia raih lalu melemparnya ke arah pintu.

Dia mencabut impusnya dan melempar gelas, bahkan lampu yang berada di atas nakas. Zora berteriak kesetanan, dia benar-benar marah dengan dirinya sendiri. Atau bahkan semua manusia yang berada di dunia ini.

"Nona Zora tenang." Dua orang suster datang berusaha menenangkan Zora, menyuntikan obat penenang kepada Zora yang tak kunjung tenang juga. Hingga gadis itu terjatuh dan memejamkan matanya erat.

Zora tau satu di dunia ini. Tidak semua orang paham apa yang orang lain rasakan, tidak semua orang tau apa rasa sakitnya menjadi orang lain. Atau bahkan mereka hanya dapat melihat, tidak tau jika banyak orang lain yang butuh pertolongan di dunia ini.

Kok bisa ayahnya Zora pelakunya ya?

Yuk follow buat lihat kelanjutannya.

Aku udah double up nih

Awas ga komen loh. Besok lagi ya guys!

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang