Semua asing, benar-benar asing. Jika dulu semua orang menatapnya dengan tatapan memuja, atau bahkan menyapanya dengan ramah dan memberikannya hadiah. Kali ini semuanya berbeda, tidak ada lagi perlakuan seperti itu di sekolah tempatnya berdiri sekarang.
Semua orang memandangnya takut, ada pula yang menatapnya tak suka walau tidak terang-terangan. Bahkan semua orang berusaha terlihat tidak mengenalnya.
"Aku ga suka di sini," ucap Zora pelan dengan wajah menekuk. Dia rindu masa-masa menjadi Adeline.
"Kelas aku di mana, ya?" Zora meletakkan telunjuknya di dagu, berusaha berpikir keras di mana letak kelasnya.
"Enggak inget." Zora menghela napas lelah. Sepertinya dia tidak akan menemukan kelas jika situasinya seperti ini.
Zora mematap sekeliling, berharap ada satu orang yang berniat menghampirinya dan dengan senang hati membantunya. Namun, sayang sekali bahkan Zora tak berani untuk sekadar bertanya kepada murid-murid lainnya.
"Duduk sini aja deh." Zora duduk di kursi koridor yang paling sepi. Dengan harapan bertemu kedua kakaknya yang mungkin saja bisa membantunya.
"Zora akhirnya lo sekolah juga!" Seorang gadis berlari ke arah Zora. Lalu duduk di samping Zora dengan senyum lebarnya. Zora tidak mengingat siapa gadis itu dikehidupan Zora sebelumnya.
"Siapa?" Zora tau ini konyol. Mungkin saja semua orang akan menganggapnya aneh, hanya saja tak mungkin Zora menjalankan hidup tanpa adanya sebuah petunjuk.
"Ya Tuhan, lo akting apa lagi hari ini?!" Zora meringis mendengar teriakan gadis di depannya ini.
"Aku amnesia," jawab Zora. Berharao gadis di depannya ini mengerti. Lagi pula Zora yakin jika gadis itu pasti teman dekat Zora.
"Lo serius, Zora?" Zora mengangguk membenarkan.
"Gue Dira, sahabat lo. Tapi lo serius enggak ingat apa pun?" Zora kembali menggeleng.
"Ya ampun!" Dira memeluk Zora, memasang wajah sedih saat mengetahui kondisi sahabatnya itu.
"Maaf gue bahkan enggak bisa nemuin lo. Kakak-kakak lo enggak boleh siapa pun jenguk lo." Zora terperangah. Sebenci itukah mereka kepada Zora.
"Tapi akhirnya lo sembuh, gue seneng banget liatnya." Zora hanya membalas gadis itu dengan senyuman. Jujur saja dia merasa canggung, karena dirinya bukanlah Zora yang sebenarnya.
"Lo jadi di sini karena lupa kelas?" Zora meringis mendengar pertanyaan Dira.
"Yaudah ayo kita ke kelas. Kita berdua sekelas lo, Gazza juga."
"Gazza?" Zora menatap bingung ke arah Dira yang menyebutkan nama seseorang yang sama sekali tidak dia kenal.
"Lo lupain Gazza juga?" Dira menutup mulutnya kaget.
"Emang bisa ya amnesia pilih-pilih?" Zora bertanya polos. Lagi pula memangnya dia harus mengingat siapa seseorang yang baru saja Dira sebut. Lagi pula siapa dia.
"Enggak sih." Dira membalas. Lagi pula dia sedikit senang mengetahui Zora melupakan Gazza. Jika seperti ini Zora tidak akan tersakiti lagi.
"Udah yuk, mending kita ke kelas. Jangan pikirin yang lain."
Zora tampak pasrah saat Dira membawanya ke kelas dengan menarik kencang tangan gadis itu. Lagi pul Zora rasa Dira adalah gadis yang baik, walau jujur saja Zora masih tak bisa mempercayai semuanya.
Bagaimana bisa dia hidup tenang dengan tak satupun ingatan yang ada di dalam kepalanya. Bahkan hampir semua orang menatapnya benci, bahkan Zora sendiri tak tau mengapa itu terjadi.
Walau begitu Zora akan memanfaatkan kehiduapnnya di sini sebaik mungkin. Dia merasa cukup senang karena memiliki saudara, mungkin saja mereka hanya marah sementara kepadanya.
Mungkin ini cara tuhan mengabulkan keinginannya dulu. Keinginan memiliki saudara, karena Zora tidak lagi kesepian. Walau Zora agak ragu tentang hal itu.
***
Zora tak tau apa kesalahannya. Seorang lelaki yang Zora tidak kenal membawanya ke luar dari kelas dengan tangan mencengkeram erat pergelangan tangannya. Bahkan pemuda itu menatap tajam ke arah dirinya.
"Lepas!" Zora berusaha melepaskan tangannya. Dia yakin pasti tangannya akan memar jika tak segera dilepaskan.
"Sialan!" Tubuh Zora didorong kasar hingga menabrak tembok. Zora meringis kesakitan, memegang kepalanya yang ikut terbentur.
"Ini ulah lo kan?!" Zora mengernyit bingung saat sebuah kotak yang tak tau Zora apa isinya di letakkan di bawah kakinya.
"Aku enggak tau," sanggah Zora ketakutan. Dia tak pernah berada di posisi ini sebelumnya.
"Buka." Zora mengangguk kaku dan berjongkong. Membuka perlahan sebuah kotak yang Zora tak tau mengapa dirinya dituduh atas hal itu.
"Akkhh!" Zora menutup mulutnya bahkan kedua matanya melebar ketakutan. Gelombang mual menyerangnya saat aroma yang berasal dari kotak itu tercium.
"Apa maksud lo?!" Gazza, pemuda itu menarik paksa Zora untuk bangun membuat Zora hampir terjatuh sangking lemasnya.
Zora menangis, dia tak tega melihat seekor kelinci mati dengan sadis di depannya. Di kehidupan sebagai Adeline Zora begitu menyukai kelinci, bahkan dia mengurus lima kelinci sekaligus di rumahnya.
"Kenapa dia mati?" Zora seakan lupa jika pria di depannya ini sedang marah kepadanya.
Zora malah bertanya dengan wajah penuh air mata dan tatapan penuh ketakutan. Seolah gadis di depan Gazza seorang anak kecil yang kehilangan sebuah mainannya.
"Siapa yang jahat, kenapa hewan lucu itu dibunuh?" Tangis Zora kian mengeras. Membuat cengkeraman Gazza pada tangannya terlepas begitu saja.
"Kamu bunuh kelinci lucu itu?!" Zora malah balik menuduh Gazza dengan pandangan tak terima.
"Cukup aktingnya!" Gazza frustasi menghadapi sikap Zora yang di luar prediksinya.
"Kamu jahat, kalau papa aku tau nanti aku bilang biar kamu dihukum. Padahal kelinci itu enggak bersalah." Gazza benar-benar frustasi mendengar ocehan Zora yang malah membalik dirinya sebagai tersangka.
"Lo yang ngirim itu buat Anya!"
"Stop bertingkap kayak gini!" Gazza mendorong kasar tubuh Zora. Hingga gadis itu tersungkur dan kembali menabrak tembok.
"Enggak!" Zora menggeleng penuh ketakutan saat dirinya dituduh sejahat itu.
"Kenapa aku harus bunuh dia?" Zora menunjuk kelinci tak bersalah itu dengan tatapan sedih.
"Ayo kubur dia."
Tanpa diduga Zora merangkak ke arah Gazza dan menyentuh kaki pemuda itu, menatap pemuda itu penuh permohonan.
"Kasian dia, gimana kalau ibunya cariin?" Gazza berteriak frustasi.
Gazza melepaskan pegangan Zora pada kakinya, lalu meninggalkan begitu saja gadis itu yang masih menangis seperti anak kecil. Gazza rasa ini salah satu trik yang sengaja Zora buat untuk membodohinya.
Sedangkan Zora menutup kembali kotak berisi kelinci itu masih dengan tangisannya yang terdengar pilu. Zora akan mengubur kelinci itu sendirian kalau begitu.
Jangan lupa tinggalkan jejak guys
Semoga suka sama ceritannya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang Terbuang (END)
Fiksi Remaja⚠️ Mengandung adegan kekerasan (Cerita Lengkap!) Adeline hanya anak manja yang hidup penuh dengan keberuntungan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepadanya saat perasaan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Adeline harus mati terbunuh oleh musuh bisn...