Tiga Delapan

55.2K 2.9K 117
                                    

Satu penyesalan Mahesa, niatnya membuat Zora kembali mengingat semuanya. Mungkin jika Zora masih tak mengingat semuanya, Zora akan baik-baik saja. Mahesa masih bisa melihat senyum asing gadis itu, walau bukan untuknya.

Dia akui dia egois, bahkan ini juga salahnya. Dia hanya bisa menangis di dalam kamarnya dengan kegelapan menyalahkan dirinya sendiri.

Kabar kepergian Zora membuatnya ikut mati pula, Mahesa merasa dunianya hancur. Dia yakin hari ini Zora merasa kesakitan yang amat dalam hingga memilih jalan ini. Namun, kenapa Mahesa membuatnya semakin rumit.

Andai saja, dia bisa melupakan Zora. Cinta gilanya yang Mahesa sendiri tau ini hanyalah sebuah obsesi. Dan obsesi itu hanya melukai perempuan yang dia cintai.

Mahesa menyesal, sampai rasanya dia milih mati dari pada hidup dalam penyesalan. Dia masih ingat wajah terakhir Zora saat bersamanya, dia mengacaukan segalanya.

Seharusnya Mahesa yang lebih tau Zora, seharusnnya dia yang bisa mengerti Zora dari pada orang lain. Sepertinya rasa sakit masa lalu membuatnya gila, ditambah perasaannya yang semakin memuncak tak menentu.

Mahesa menatap beberapa foto Zora yang terpasang di dinding kamarnya. Tanpa orang tau Mahesa memang bernar-benar tergila-gila kepada Zora, bahkan Zafia dan Raffael pun tak mengetahui. Mahesa memang pintar menyimpan perasaannya dengan membenci Zora.

Tanpa orang tau Mahesa adalah orang pertama yang menatap Zora dari kejauhan ketika gadis itu bersedih, atau membuat pelajaran pada orang-orang yang telah membuat Zora merasa sedih. Sayangnya Mahesa bodoh dengan tidak mencintai seperti semestinya.

Tapi kali ini Mahesa gagal, dia yang membuat Zora merasa kesakitan, dan dia pula yang membuat Zora pergi untuk selama-lamanya. Mahesa berteriak marah, melempar semua barang-barang yang berada di nakas kamarnya hingga berhambura ke mana-mana. Kali ini Mahesa tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

***

Gazza tentu tak akan pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi, apa lagi yang menimpa kepada Zora. Karena dia awalnya mengira Zora adalah gadis angkuh yang tidak akan pernah mengalah terharap sesuatu. Ternyata salah, semua orang memiliki titik kelemahannya bahkan Zora juga.

Awalnya Gazza kira kepergian Zora mungkin adalah hal yang melegakan karena hidupnya akan tenang dan bahagia tanpa gangguan gadis itu. Ternyata salah, hidup Gazza tidak pernah sebaik-baik itu.

Jasad Zora akan dimakankan besok pagi, dan malam itu Gazza benar-benar tak beranjak dari sisi Zora. Dia hanya mampu menatap Zora yang telah tiada dengan raut datar seperti biasanya. Sayangnya maya pemuda itu memancarkan kesedihan yang amat mendalam, kesedihan yang mungkin tak seharusnya.

Dia telah banyak membuat Zora terluka, seharusnya dia tak pantas untuk bersedih akan kepergian gadis itu. Mungkin saja Zora sedang tertawa melihat penyesalannya saat ini.

Tak jauh lebih baik dari Gazza, Raffael pun sama. Walau terlihat begitu tenang nyatanya dalam hati Raffael puas mengutuk dirinya sendiri. Tangannya sejak tadi mengepal kuat menyimpan kemarahan pada dirinya sendiri, dia tentu sangat kecewa.

"Kak Raffa kenapa kakak jarang banget pulang, sih? Padahalkan seru kita main sama-sama!" Zora kecil menatap menuntut Raffael yang saat ini sedang menonton televisi.

"Kakak kan udah banyak di rumah, lagi pulakan kakak cowok, masa main sama kamu!" Zora kecil mengerucuti bibirnya sebal, tetapi dia mengangguk membenarkan ucapan Raffael.

Dia beralih pada Zafia yang saat ini sedang sibuk memakan kentang goreng yang baru saja Bi Nana buatkan untuk mereka.

"Kak Zafia juga, malah sering sibuk belajar." Zafia menoleh ke arah Zora.

"Kakak belajar biar pintar, nanti kakak bakal ajarin kamu. Lagi pula kamu biar bangga punya kakak pintar!" Zafia menatap Zora penuh kebanggan.

Sejak kecil Zafia memang menyayanginya Zora, dia berusaha menjadi seseorang yang sempurna, apa lagi menyangkut Zora. Dia ingin Zora merasa bangga karena telah menjadi adiknya. Nyatanya tidak, dia tidak melakukan semua itu.

"Zora?" Zafia masih belum berhenti menangis sejak mengetahui kepergian sang adik.

Sejak tadi dia menangis di dalam pelukan Bi Nana yang juga tak dapat menahan air matanya.

"Bibi aku bukan kakak yang baik, seharusnya aku lindungin Zora buksn malah buat dia kayak gini. Bibi bilang sama Zora biar kembali lagi, dia pasti nurut sama Bibi." Zafia menatap penuh permohonan pada Bi Nana yang saat ini menatapnya sedih.

"Non Zora sudah bahagia di sana, ikhlaskan ya, Non?" Zafia menggeleng dia tidak bisa ditinggalkan oleh Zora dengan keadaa dan cara seperti ini. Dia tak bisa kehilangan dengan cara yang sama untuk kedua kalinya.

Bi Nana tidak mengeluarkan suara lagi, dia hanya mengelus punggung Zafia sambil berusaha menenangkan Zafia. Walau sebenarnya Bi Nana merasakan hal yang sama, kecewa.

Semenjak semua orang di keluarga ini membenci Zora, Bi Nana adalah satu-satunya seseorang yang berada di dekat Zora menjadi satu-satunya orang yang berusah merangkul gadis itu. Tentu dia kecewa, bahkan sangat. Bagaimana perasaannya setelah melihat seseorang yang selama ini dia hibur dan dia anggap seperti putrinya pergi untuk selama-lamanya.

Namun, jelas Bi Nana tak memiliki hak untuk marah kepada siapa pun. Bi Nana juga menyalahkan dirinya sendiri, andai dia berusaha lebih keras lagi menjaga Zora.

Sayangnya andai-andai semua orang tidak dapat terkabul. Nyatanya sejak awal keluarga ini memiliki komunikasi yang buruk hingga semuanya perlahan tidak sesederhana yang terlihat.

Dua kali kejadian yang dialami keluarga ini karena masalah kesehatan mental, dan kedua kalinya keluarga ini gagal untuk memahami satu sama lain.

Hidup itu bukan tentang diri sendiri, atau kebahagiaan diri sendiri. Namun, kebahagiaan orang lain, dan rasa sakit orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang saling berdampingan, tetapi jika sejak awal tak saling memahami apa arti kehidupan dan kemanusiaan. Semuanya sia-sia, keegoisan adalah pemenangnya.

Seseorang yang tertawa paling keras biasanya memiliki keinginan untuk tenang paling banyak. Seseorang yang mengakhiri hidupnya terkadang adalah seseorang yang menginginkan kehidupan lebih dari apa pun.

Tak semua yang terlihat sesederhana kelihatannya. Semua manusia memiliki problem hidupnya masing-masing, memiliki kesakitannya masing-masing. Namun, jika sejak awal semua orang tak bisa saling memahami, semuanya akan berakhir percuma dan sia-sia.

Satu kata untuk Gazza

Satu kata untuk Zafia

Satu kata untuk Raffael

Satu kata untuk Mahesa

Satu kata untuk Anya

Tencu para ayang acu yang udah baca dan komen penuh keantusiasan. Kalian the best, sayang kalian sebumi.

Aku bakal double up lagi hari ini mohon ditunggu.

Semangat untuk kalian dan jaga kesehatan 💜

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang