"Makasih, Bibi."
"Sama-sama, Non." Zora tersenyum lebar saat Bi Nana membuatkan makanan kesukaannya. Sebenarnya kesukaannya dalam beberapa hari ini.
Memang sejak beberapa hari ini Zora sedang senang memakan sup ayam buatan Bi Nana yang terasa tak ada tandingannya. Mungkin dia semakin terbiasa dengan masakan Bi Nana.
"Ini susunya, Non."
"Non Zora langsung mau ke sekolah sekarang, enggak kepagian?" Bi Nana sedikit khawatir karena masih begitu pagi untuk Zora berangkat sekolah.
"Enggak masalah, Bi. Lagi pula aku mau ngerjain tugas juga di sekolah," jawab Zora.
Bi Nana mengangguk pasrah, menyetujui ucapan Zora. Walau khawatir dia yakin Zora lebih tau mana yang terbaik untuknya atau tidak.
Terbiasa menjaga Zora sejak kecil membuat Bi Nana menganggap Zora sebagai putrinya sendiri. Apa lagi Bi Nana juga memiliki putri yang seumuran dengan Zora, jadi dia dapat mengubur rasa rindunya dengan mengurus majikannya itu.
"Aku langsung ke sekolah, Bi." Zora meraih tasnya yang tersampir di kursi. Menyalimi tangan Bi Nana dan langsung pergi menggunakan taksi.
"Zora udah jalan, Bi?" Zafia yang baru saja turun dengan pakaian rapi langsung bertanya. Karena melihat piring kotor berada di atas meja yang baru saja akan diangkat Bi Nana.
"Iya Non, baru aja pergi." Zafia mengangguk paham langsung duduk di kursi. Walau dia masih penasaran dengan Zora yang berangkat begitu pagi.
Dia merasa Zora semakin menjauhinya, atau bahkan bersikap biasa saja. Jika sebelumnya Zora berusaha mendekatinya, kali ini adiknya itu tampak biasa saja.
"Pagi, Kakak." Anya menghampiri meja makan dengan senyum merekah. Gadis itu sudah rapi dengan rambutnya yang diberi jepitan berbentuk bunga matahari.
"Pagi," balas Zafia.
"Zora ke mana, masih di kamar? Aku panggil ya?"
"Dia udah pergi," jawab Zafia cepat sebelum Anya bangkit.
"Loh, masih pagi banget?" Zafia mengedikkan bahu tak peduli.
Lagi pula sepertinya memang lebih bagus Zora tak terlihat pagi-pagi seperti ini, setidaknya tidak menggangu suasana.
"Mungkin Zora masih marah." Zafia yang baru saja menyesap susu menoleh mendengar ucapan Anya.
"Dia buat masalah lagi?" tanya Zafia.
"Enggak, Kak. Aku yang salah, aku yang buat Zora marah." Zafia meraih tangan Anya, menatap iba sepupunya itu.
"Zora kan memang sifatnya begitu, kamu jangan ambil hati ya?" Anya mengangguk dengan raut sedih tampak begitu sangat sedih.
"Kenapa?" Raffael yang baru saja datang langsung bertanya heran dengan obrolan keduanya.
"Bukan apa—"
"Zora marah sama aku." Zafia menghela napas kasar saat Anya lebih dulu menjawab pertanyaan Raffael. Akhirnya dia lebih memilih diam.
"Kenapa?" Raffael duduk di depan Anya, menunggu balasan dari gadis itu.
"Aku pinjem baju soalnya baju aku basah, tapi Zora marah."
"Hachim!"
"Kayaknya ada yang ngomongin aku." Zora menggosok hidungnya yang memerah. Sejak tadi beberapa kali dia bersin, sepertinya karena udara dingin.
"Zora!" Zora menoleh mendapati Mahesa berjalan ke arahnya dengan raut datar seperti biasanya. Raut yang sepertinya dikhususkan untuknya.
"Anya minep di rumah lo?" Zora mengangguk membenarkan.
"Gue peringatin jangan ganggu Anya, dia juga saudara lo. Inget, cukup gue yang selama ini menderita karena iblis kayak lo!" Zora mengangguk paham.
"Aku enggak ganggu Anya. Hidup aku bukan cuma ngurusin cewek manja kalian itu. Lagi pula aku gak punya saudara kayak kalian semua." Zora tersenyum sinis melihat respons tak suka dari Mahesa.
"Jadi sifat asli lo ke luar sekarang?"
"Ya, kenapa kakak keberatan? Lagi pula aku mau baik atau enggak bukan urusan kalian!" Zora merasa muak selalu disalahkan dengan apa yang tidak dia lakukan, apa lagi menyangkut Anya.
"Masalahnya lo ngelukain orang lain," balas Mahesa penuh penekanan.
"Dan orang lain ngelukain aku." Setelah mengucapkan itu Zora pergi dari sana. Meninggalkan Mahesa yang masih menatap punggungnya yang mulai menjauh.
"Karena lo pantes dapetin itu, Zora." Mahesa berucap pelan dengan mata menyorot tajam ke depan.
Sedangkan Zora langsung pergi menuju kelasnya. Di sana hanya ada dirinya dan dua orang yang sedang melakukan piket.
Zora duduk di kursinya, mengeluarkan buku miliknya. Jangan salah paham, Zora bukannya belajar. Gadis itu malah membaca novel yang kemarin dia beli, dan dirinya belum selesai membaca.
Cerita tentang seorang gadis yang bertransmigrasi ke dalam novel. Membaca itu membuat Zora bertanya-tamya. Apakah dia juga masuk ke dalam novel.
Namun, kenapa dia tidak memiliki ingatan seperti yang dia baca di dalam novel. Apakah dia sebenernya masuk ke dalam tubuh orang yang memang benar-benar nyata.
"Kalau begitu aku bisa cari rumah aku yang dulu," ucap Zora dengan mata berbinar.
Dia menemukan jawabannya, dia akan mencari rumahnya dan mencari apakah ibu dan ayahnya masih hidup. Atau masih ada jawaban yang dia temukan di tempat asalnya berada.
Ya, Zora akan menemukan jawaban sebenarnya.
Jeng jeng jeng
Rumah asli?
Rumah asalnya?
Kira-kira Zora nemuin apa, ya?Penasaran?
Ayo vote, komen dan follow. Soalnya aku bakal update besok setelah view mencapai 100k.
Follow ya sebagai balasannya hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang Terbuang (END)
Fiksi Remaja⚠️ Mengandung adegan kekerasan (Cerita Lengkap!) Adeline hanya anak manja yang hidup penuh dengan keberuntungan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepadanya saat perasaan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Adeline harus mati terbunuh oleh musuh bisn...