Dua Tujuh

72.5K 3.4K 51
                                        

"Lalu apakah hubungan aku dan Papa baik-baik aja, Bi?" Zora semakin penasaran. Dari foto yang dia lihat semuanya tampak baik-baik saja, lalu kenapa bisa semuanya terjadi.

Lalu mengapa Zora mengakui jika misalnya semua itu bukan karenanya. Apa memang benar Zora melakukan itu, lalu karena apa?

"Semuanya baik-baik saja, Non. Bibi menjaga Non sejak kecil, Tuan begitu menyayangi Non Zora." Bi Nana menjeda ucapannya.

"Semua orang menyayangi Non Zora. Tuan Raffael, Non Zafia. Mereka menyayangi Non Zora, mereka senang memiliki adik kecil semanis Non Zora. Namun, semua berubah ketika tuan dan nyonya meninggal." Kedua mata Bi Nana berkaca-kaca.

Sebagai salah satu orang yang dekat dengan keluarga ini, Bi Nana begitu merasakan bagaimana perasaan dan kehancuran keluarga ini.

"Berarti aku dan kakak dekat ya Bi dulu?" Bi Nana mengangguk dan tersenyum.

Bi Nana masih ingat ketiga anak majikannya itu. Ketiga anak yang begitu lucu dan menggemaskan, Bi Nana sangat senang saat ketiganya saling berpelukan dan tersenyum bahagia.

"Bi Nana tau perasaan Non Zora. Non Zora enggak sendirian, masih ada Bibi di sini." Zora memeluk Bi Nana erat.

Dia merasa kesedihan itu. Sekarang dia adalah Zora, berarti kehidupan Zora adalah kehidupannya juga. Zora yakin, dia dapat memecahkan semuanya walau sendirian.

"Terima kasih, Bibi." Bi Nana mengangguk dan membalas pelukan Zora tak kalah eratnya.

***

Malam harinya Zafia pulang, wajah gadis itu tampak terlihat bahagia. Namun, ketika matanya bertabrakan dengan mata Zora ekspresi gadis itu langsung berubah seketika.

Zafia memasang walau datar, melewati Zora begitu saja. Seolah di depannya itu tidak ada sosok manusia lain, sayangnya Zora tak peduli dan menyapa Zafia seperti biasanya.

"Malam, Kak." Zafia menghentikan langkahnya. Menatap Zora dengan tatapan tidak suka.

"Aku udah tau semuanya," ucap Zora.

"Baguslah, biar pembunuh kayak lo sadar diri. Kalau sebenarnya lo itu pantesnya di penjara bukan di sini!" Zora mengangguk paham, berusaha tidak tersinggung atas ucapan Zafia.

Dari yang Zora dengar tadi jika Zafia menyayanginya, Zora yakin sebenarnya Zafia masih sosok kakak yang sama. Mungkin dia hanya kecewa saja dengan Zora.

Karena dia juga pasti akan begitu. Dia akan marah saat tau adiknya membunuh ayah mereka, apa lagi menyebabkan sang ibu depresi hingga bunuh diri.

Zora tau itu berat untuk Zafia, begitu juga untuk Raffael. Karena itu Zora akan membuatnya baik-baik saja, dan membuktikan jika Zora tidaklah bersalah.

"Kakak," panggil Zora mendekati Zafia.

"Perihal meninggalnya Papa, apa kakak yakin enggak ada alasan kenapa aku sampai melakukan itu?"

"Pembunuh tetap pembunuh!" Zora mengangguk membenarkan.

"Tapi aku yakin, Kak. Zora enggak mungkin melakukan hal sejahat itu!"

"Lo bicara seolah-olah bukan lo pelakunya, seolah bukan lo orang yang dimaksud. Apa lo juga pura-pura amnesia biar bisa sok-sokan enggak bersalah?!" Zafia terpancing emosi. Senyum yang tadi terpasang diwajahnya hilang begitu saja.

"Plis deh, Zora! Jangan bersikap seolah lo paling bener di sini. Inget gue sama kakak jadi yatim piatu gara-gara lo sialan!" Zafia pergi dari sana memasuki kamarnya.

Semakin lama mereka bicara, semakin terbuka pula luka yang selama ini berusaha mereka pendam masing-masing. Jadi lebih baik mereka tidak pernah bicara.

Bi Nana yang sejak tadi menyaksikan pertengkaran antara dua saudara itu menatap sedih keduanya. Bi Nana sadar, konflik kedua ini benar-benar tidak sederhana. Karena semakin lama semuanya terpendam, semakin banyak juga luka menumpuk di hati masing-masing.

Zora menyenderkan tubuhnya di tembok, berusaha menormalkan detak jantungnya. Walau bukan sebagai Zora, dia merasakan kesakitan pada hatinya. Dia merasa ada luka yang menganga di dalam sana.

Bukankah dia bukan Zora yang asli, dia bahkan tidak menemukan satu memori pun dari dalam ingatannya. Lalu mengapa dia seolah paham dan mengerti semua apa yang terjadi.

"Aku yakin, ada yang enggak beres di sini?"

Sepertinya ada orang ketiga dalam konflik keluarga ini. Tidak mungkin semuanya berjalan semakin rumit jika tidak ada dalang di dalamnya.

Zora berjanji pada dirinya sendiri, dia akan menemukan dalang dibalik semuanya. Dia akan membuat keluarga ini kembali bahagia. Dia tidak ingin Zafia, Raffael, bahkan Zora menumpuk luka yang semakin parah di dalam hati mereka.

"Aku bakal pecahin semuanya," tekatnya kuat.

Mungkin ini salah satu alasan mengapa dia berada di sini. Mungkin dia dapat membuat semuanya selesai. Dia yakin tidak mungkin tidak ada alasan mengapa dia sampai berada di dalam dunia yang benar-benar penuh tanda tanya ini.

Zora masuk ke dalam kamarnya. Berusaha menjernihkan pikirannya. Seharian ini dia benar-benar kacau, semua prasangka hadir dalam kepalanya. Dia bahkan tidak bisa tenang walau sedetik pun.

"Sialan!" teriak Zora saat sudah sampai di kamar.

Seperti janji aku double up nih!

Beneran Zora bukan ya yang bunuh ayahnya?

Menurut kalian cerita ini enak tamat di part berapa?

Tebak siapa antagonis sebenarnya?

Antagonis yang Terbuang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang