Bab 41 | Tangisan

1.5K 178 40
                                    

***

Shabira bisa merasakan sakit yang Satria rasakan. Mungkin ia memang belum mendengat cerita Satria secara detail, tetapi dengan apa yang ia tangkap Satria adalah saksi Reihan menghembuskan nafas terakhirnya.

"Gua gak siap, Ra. Gak siap," isak Satria mengeratkan pelukannya. Shabira mengusap pundak Satria yang bergetar sangat hebat, ini kali pertamanya ia melihat Satria menangis di masa remaja.

"Tadi kita masih barengan, sialan truk goblok nabrak temen gua, Ra. Reihan sahabat gua, dia mau jadi Ayah, Ra."

Adrian yang ada di sana hanya bisa memalingkan wajahnya, tentu Adrian juga merasakan sedihnya. Reihan sangat dekat dengan Mahesa, di saat-saat seperti ini Adrian teringat kepada Mahesa. Bagaimana jika Mahesa juga pergi meninggalkannya?

"Kita liat Rei, yuk?" ucap Shabira dengan nada yang lembut.

"Ra, Reihan mau jadi Ayah. Dia seneng banget, tapi tinggal beberapa bulan lagi Baby lahir kenapa Reihan ninggalin kita?"

"Tuhan punya rencana, Satria. Saat ini gua gak minta lo buat ikhlas atau minta semua orang ikhlas, karena gua tau ikhlas itu kata yang hanya mudah di ucapkan sulit di lakukan. Jadi ayo kita saling kuat, kuat untuk semuanya." Satria mengangguk pelan dalam pelukan itu dan perlahan melepaskan pelukannya, tidak enak dengan Adrian memang.

"Ayo, Ra. Kita ketemu Reihan." Shabira mengangguk dan mereka berdua berdiri, dengan langkah pelan mereka memasuki ruangan UGD.

Shabira mengenggam tangan Satria erat, tubuhnya sangat lemas melihat tubuh Reihan yang kaku di brankar dengan luka-luka yang sudah dokter bersihkan.

"Rei.." Satria menatap tubuh Reihan dan membuka kain yang menghalangi tubuh kaku Reihan, bibirnya bergetar.

"Rei tadi kita lagi main anjing, kenapa lo di sini?" guman Satria tidak ragu untuk menatap wajah sahabatnya, setidaknya ini yang terakhir.

Shabira menutup mulutnya melihat wajah Reihan yang sudah sangat pucat karena tidak ada lagi aliran darah di tubuh itu. "Rei, lo udah baik sama gua. Makasih," lirih Shabira.

"Lo pergi tanpa pamit, tapi gak papa gua gak marah."

"REIHAN!" Satria dan Shabira memejamkan matanya secara berbarengan mendengar teriakan suara yang sangat mereka kenal, saat ini mereka harus mengkuatkan jiwa untuk Reva.

"Rev.." Tubuh Reva terpaku melihat Satria dan Shabira dengan muka yang sudah sembab, perlahan kedua matanya melirik raga yang sudah tidak bernafas di atas brankar. Dibelakang Reva tentu ada Naina dan Keisya, dan Azka sedang menyusul orang tua Reihan karena tidak mungkin hanya di kabari lewat telpon, mereka akan sangat kaget.

"Bohong, ya? Reihan gak mungkin. REIHAN!" teriak Reva berlari ke arah brankar Reihan dan memeluk jasad itu dengan erat.

"Capt tadi aku nyariin, kamu harus pulang kerumah bukan pulang yang sebenarnya. Capt kamu prank aku ya?" ucap Reva terisak-isak memeluk Reihan.

Naina siaga berada di samping Reva memegangi bahu Reva, berjaga-jaga jika sahabatnya itu kehilangan keseimbangannya. Keisya memeluk Shabira hangat, mereka saling mencurahkan kesedihannya.

"Bangun, Capt. Ayo bangun!" ujar Reva berharap bahwa semuanya hanya mimpi buruknya, dan berharap ia segera bangun dari mimpi itu.

"Aku gak mau, Capt. Maaf, aku minta maaf. Jangan pergi di saat keadaan kita gak baik-baik aja, ayo kita lurusin semuanya, ayo kita hidup bersama. Aku, kamu juga baby," isak Reva. Isakan kesedihan menjadi teramat sangat sesak bagi orang-orang yang mendengarnya, termasuk Satria yang hanya bisa menunduk.

"Reihan.. pliss jangan ninggalin aku sendirian," lirih Reva.

"Rev.. its oke," gumam Naina berusaha kuat untuk sahabatnya. Reva menatap wajah tampan yang hampir menjadi tunangannya, jadi semuanya tidak akan terlaksana karena takdir Tuhan.

Garis Semesta | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang