Bab 44 | Sebuah janji harapan

1.7K 175 32
                                    

***

Sudah hari ketiga Mahesa tidak membuka matanya yang bahkan kondisinya juga belum ada tanda-tanda akan segera membaik, walaupun ada tanda-tanda membaik tidak lama dari itu kondisi Mahesa cepat kembali turun. Adrian setia menemani Mahesa di ruangan yang menurut Adrian ruangan keramat karena kembali mengingatkan pada beberapa tahun silam, sama keadaanya di saat Mahesa sedang berada di waktu sedang tidak baik-baik saja.

Hersa sudah berhasil menjual kedua mobil Adrian yang sebenarnya teman Hersa sendiri yang membelinya. Adrian juga jadi menjual apartemen hasil ia bekerja sama dengan Hersa pada saat mendirikan restoran yang awalnya di kasih dana oleh orang tua Hersa yang untungnya bisnis kecil tersebut sangat cepat berkembang karena ada bantuan dari orang tua Hersa.

"Ndri, makan dulu," tukas Hersa masuk keruangan Mahesa dengan membawa dua bungkus nasi padang. Mahesa sudah di pindahkan keruangan biasa yang lebih memudahkan Adrian untuk berdekatan dengan Mahesa.

"Lo duluan aja," ucap Adrian singkat.

"Lo belum makan dari pagi, Ndri. Jangan suka nyari penyakit," tukas Hersa dengan nada galaknya.

Adrian berdecak dan mendekat ke arah Hersa yang sedang membuka bungkus nasi padang tersebut. Sebenarnya Adrian sudah cukup lapar karena dari pagi perutnya belum terisi apapun hanya saja tidak ada sama sekali nafsu untuk makan.

"Sebentar lagi proses pemindahakan Mahesa keluar negeri beres, lo harus siapin diri lo jangan suka abai sama kesehatan sendiri lo udah janji bakal bawa Mahesa berobat jauh, so lo juga harus sehat, Ndri." Adrian mengangguk pelan. Apa yang di katakan Hersa benar. Ia tidak boleh abai dengan kesehatannya sendiri agar semuanya berjalan dengan baik tanpa ada pemunduran jadwal.

Katanya Dokter yang di sebut sebagai orang tua Naina sudah mengabari salah satu pihak rumah sakit di Jerman untuk pendaftaran pengobatan untuk Mahesa, Dokter Sopyan tentu ikut membantu menjadi wali Adrian dan Mahesa.

"Kata bokap Satria mereka udah dapat dokter yang bakal nangganin Mahesa di sana, semua nya hampir beres, tinggal nunggu kondisi Mahesa membaik aja biar lebih cepat mereka bawa Mahesa ke Jerman. Karena Mahesa gak bisa di bawa dalam keadaan kayak gini, Ndri."

"Gua paham, Her. Makanya gua berharap banget Mahesa mau segera bangun, seengaknya dengan itu gua ngerasa lega," balas Adrian yang tiap malam, tidak selesai sholat mendoakan yang terbaik untuk adiknya.

"Gua cuma bisa ngedampingin lo, Ndri. Semoga lo kuat ngejalanin musibah ini apalagi cuma lo pegangan Mahesa satu-satunya."

"Ya, gua harap gua bisa sekuat itu, Her. Gua gak bisa berharap sama orang tua gua, respon nya aja gak ada. Heran gak sih, Her? Gua sama Mahesa juga anaknya, bukan cuma Malika," gumam Adrian yang sudah cukup tertekan dengan situasi seperti ini.

"Lo harus coba telpon mereka, Ndri. Tentu dengan bahasa yang lebih baik dengan penyampaian yang mudah di mengerti dan to the point. Setelah lo dapat responnya mau bagaimanapun responnya seengaknya lo udah ngasih tahu kondisi Mahesa kepada haknya, paham?" Adrian mengangguk pelan.

"Gua coba nanti, Her." Adrian mulai makan walau dengan perasaan tidak nafsu padahal Hersa sengaja membelikan nasi padang karena makanan itu salah satu makanan kesukaan Adrian.

"Habisin, Ndri. Kalau gak gua aduin sama Della," ancam Hersa.

"Gak usah kekanak-kanak-an njir," kesal Adrian.

***

Akhirnya setelah memastikan ada Della yang menemani Mahesa di ruangan itu, Adrian bisa keluar mencari tempat sepi untuk mencoba menelpon orang tuanya terlebih sang papah, Fahmi.

Adrian rasa di taman belakang rumah sakit lumayan sepi walau nyatanya sedikit membuat bulu kunduk Adrian bangun karena  memang dekat dengan pemakaman yang ada di rumah sakit ini.

Garis Semesta | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang