Bab 43 | Keputusan Adrian

1.7K 167 23
                                    

***

Azka dengan tatapan kosongnya hanya bisa diam di sopa dengan di temani oleh Keisya yang memutuskan untuk menyusul kerumah sakit dengan Naina.

Naina dan keisya ikut kaget mendengar kabar bahwa Mahesa sakit keras dan sekarang kondisinya yang sedang tidak memungkinkan.

"Nai, lo udah bikin pengumumannya?" tanya Azka dengan suara yang tidak bergairah, tentu saja karena ia baru saja kehilangan Reihan dan sekarang harus menghadapi masalah kesehatan Mahesa.

"Udah, Ka. In sya Allah ada yang ngebantu kok, ada beberapa anak kelas kita yang golongan darahnya sama kayak Mahesa mereka siap kalau Mahesa masih butuh darahnya," tukas Naina yang sempat menemani Satria donor darah namun sekarang kondisi Satria sedang lemas, Naina membiarkan Satria untuk istirahat sesuai dengan anjuran dokter juga.

Helaan nafas terdengar dari Azka, lumayan melegakan. "Udah parah banget, Ka?" tanya Keisya dengan suara pelan.

Azka menganggukan kepalanya pelan. "Parah, Cha. Dan sialnya aku gak pernah peka dengan kondisi Mahesa selama ini, bahkan saat turnamen itu aku gak sadar dan malah bersikap seenaknya sama Mahesa. Aku buruk banget jadi seorang sahabat buat Mahesa, Cha," ujar Azka.

Azka dan Satria sudah mendengar secara jelas kondisi Mahesa sejak awal sampai sekarang dari Adrian dan cukup membuat mereka merasa tertampar, apalagi Azka.

"Harusnya aku lebih peka sama orang-orang terdekat aku, Cha. Kenapa aku harus egois? Kenapa setelah semuanya kayak gini baru aku ngakuin kalau aku emang sahabat yang buruk," sambung Azka.

"Ka, udah. Jangan ada yang di sesali buat sekarang karena semuanya udah terlanjur berlalu. Untuk sekarang kita fokus support Mahesa, support Reva, doain Reihan, semuanya kita serahin sama yang di atas maunya gimana," tukas Naina yang benci perihal menyesalan.

Azka menghela nafas dan menyandarkan kepalanya pada bahu Keisya. Sejak semalam mereka tidak benar-benar istirahat apalagi Azka dan Satria, semalaman mereka tidak tidur sama sekali karena menangisi Reihan dan menemani jenazah Reihan tepat di samping Reihan. Nyatanya mereka ingin sama-sama menikmati malam terakhirnya dengan Reihan walau hanya dengan bacaan Al-Qur'an setidaknya itu lah yang Reihan butuhkan.

"Kenapa ujian datang secara bersamaan," gumam Keisya.

"Kei, kita jalani bareng-bareng, oke?" Keisya menganggukan kepalanya dan mengusap punggung tegap Azka. Keisya sangat ingat hari di mana Mahesa datang kerumahnya dengan pakaian sekolahnya, saat itu Keisya sadar bahwa Mahesa datang dengan wajah pucatnya, satu hal yang Keisya sesali, ia tidak menanyakan kenapa dan apa yang terjadi. Keisya menghela nafas pelan, Mahesa baik kareka membantunya keluar dari masalahnya dan Keisya berharap Mahesa bisa sembuh dan sehat seperti dulu lagi.

Ceklek

"Ra.." Naina menyapa. Shabira masuk ke ruangan itu sembari menunduk dan di persilahkan duduk di samping Keisya.

"Kenapa, Ra?" tanya Naina menyadari wajah sedihnya Shabira bahkan saat ini kedua mata Shabira sudah berkaca-kaca.

"Gimana Mahesa, Ra? Ada perubahan?" Kini Azka bertanya dan menegakan kembali tubuhnya, Azka harus tahu tentang keadaan Mahesa.

"Lagi di obrolin sama dokter, dokternya ada empat orang gua pusing liat nya," ucap Shabira.

"Ada Papah Satria sama Papah lo juga, Nai. Gua ngerasa kondisi Mahesa bener-bener memburuk sekarang, gua takut," lirih Shabira semakin di penuhi rasa ketakutan yang muncul di pikirannya.

"Ra.." Shabira menunduk dan kembali menangis pelan, air mata yang dari dulu kebanyakan ditahan mengalir saat ini juga.

Keisya langsung merangkul Shabira begitu juga dengan Naina. "Kita harus kuat, kita harus barengan, Mahesa butuh kita, Reva juga butuh kita. Gua harap badai ini cepet reda," gumam Naina dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Garis Semesta | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang