"Sebagai subjek eksperimen, kamu tidak pantas untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan."
•
Di depan pintu gerbang SMA yang megah, sebuah babak baru dalam perjalanan kehidupan Milky telah dimulai. Hatinya penuh harap dan penasaran, menghadapi dunia sekol...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ark 1: Tragedi di kota Runville
Bagian akhir: Tragedi di kota Runville
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~ェ~
Di dalam kegelapan yang mencekam, tatapanku terarah langsung kepada ibuku. Suaranya yang kejam merayap di dalam telingaku, menusuk dan merendahkan hatiku. Aku mendengar bibir tebalnya yang bengis itu berucap, "Selama ini, aku telah membiarkanmu bersama gadis bernama Ameena itu, Milky. Aku memberimu kesempatan merasakan sedikit kebahagiaan. Tapi, semua itu harus berakhir sekarang. Maka, aku memerintahkan mereka semua untuk menghapus keberadaan kekasihmu, dengan sentuhan psikopat."
Kata-kata ibuku terlontar sangat kejam, senyum jahatnya menusuk jantungku dengan kelicikan, membuatku sangat membenci dirinya. "Sebagai subjek eksperimen, kamu tidak pantas untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan," serunya dengan kejam, menggelorakan emosi dan kemarahan yang tidak terbendung di dalam seluruh ragaku.
Sejenak, aku melepaskan cengkeraman pada katana, meninggalkannya jatuh di tanah. Dengan kecepatan yang tidak terpikirkan, aku sudah berada di atas ibuku yang tercela. Kedua tanganku mengepal dengan erat, tangan kananku siap melancarkan pukulan pada wajah ibuku. Pukulan itu menghantam ibuku, membuat wajahnya langsung hancur bersama dengan tulang tengkoraknya yang berhamburan ke segala penjuru.
Dalam momen yang mendebarkan, aku merasakan serangan pilar-pilar kayu yang mendekat dari arah kiri. Tanpa perlu menatapnya, aku mengangkat tangan kiriku, dan dengan kekuatan Telekinesis yang luar biasa kuat, aku berhasil menahan pilar kayu tersebut agar tidak mengenai tubuhku. Aku memusatkan pikiranku, mengandalkan kekuatan batin yang tersulut amarah, untuk melawan kekejian dari mereka.
Ketika mataku memandang ibuku yang tiba-tiba pulih dengan kepala yang utuh kembali, dia tertawa dengan penuh kegembiraan, dan bertepuk tangan dengan nada menghina. Emosiku berkobar, dan aku menghendaki untuk menyerang ibuku sekali lagi. Namun, ibuku dengan sigap melepaskan sebuah serangan api. Tanpa ragu, aku pun juga melepaskan serangan elemen api dari telapak tanganku. Kedua serangan api itu beradu, menciptakan kilatan cahaya yang membelah kegelapan malam. Pertarungan yang sengit antara seorang ibu dan anak kini kembali bergelora, menggetarkan suasana di sekitar dengan gemuruh yang suram.