Pembaca berkelas adalah pembaca yang menggunakan akal dan budinya.
Jika akal sehat dan logika tidak mampu mengalahkan nafsu, tak ada gunanya insan mendapat rasa iba. Hanya sia-sia belaka jika ibu memohon pada Sang Pencipta agar diberi kebahagiaan setelah luka masa lampau, tapi pemberian Tuhan kembali cacat karena keegoisannya.
Mengenang betapa hebat sosok yang paling kucintai di dunia berkhianat, napas ini berembus sebelum mengalihkan isi kepala, imaji masih stagnan meskipun pada titik luka yang berbeda. Senyumku melengkung tipis, di tengah upaya menerka ada apa gerangan Claire berlalu tanpa menyapa. Percayalah, tak ada gunanya bibir diciptakan jika hanya bisu menyimpan perseteruan.
"Apakah kau tengah memikirkan cara untuk melarikan diri dari kuis pagi ini?" Seseorang yang baru tiba di sisi kananku benar-benar berani mengibarkan bendera perang.
Aku hanya menoleh sekilas, kemudian beralih lagi menatap ke depan universitas dengan bibir tersungging miris. Pria itu amat beruntung karena kerap menemukanku di ambang putus asa.
"Mister, beri kami kisi-kisi UTS. Selain galak, materi yang kau ajarkan pun sulit masuk ke otak." Sungguh, aku bercanda sekadar melebur kebekuan. Setelahnya bibir ini tergigit refleks sembari berhitung dalam hati, hendak berlari. Mungkin sebentar lagi makhluk Tuhan berwibawa itu akan mengancam dengan nilai E.
"Tidak ada kisi-kisi." Pria itu berucap ketus.
Napasku berembus lega karena ia tidak sesadis pemikiran. "Kami mahasiswa, bukan anak SMA," balasku datar sebelum menghadapnya.
"Aku tidak buta." Amat dingin, membekukan.
Aku menatapnya kesal. "Berusahalah fleksibel pada kami." Netra bundar ini berputar malas.
"Cukup pelajari isi buku tulismu, maka kau akan paham." Ia menyilangkan lengan sok tampan.
Bibirku berdecak sebelum mundur, berusaha menciptakan jarak. "Aku menyimpannya di kepala," ucapku bangga. "Rhea tidak sepenurut itu sekadar mencatat materi di papan tulis," tekanku lagi.
Mister Ares menatapku datar. Napasnya tampak tertahan. Mungkin berusaha tidak mengeluarkan makian karena reputasi. Namun, tak ada siapa pun di lantai ini selain kami. Lantas, apa yang ia takuti?
"Kau serius tidak mencatat materi yang aku paparkan di papan tulis?" Alisnya terangkat penuh selidik. Suara pria itu pun terdengar geram.
Aku mengangguk kaku sebelum menggeleng. "Aku tidak pernah mencatat apa pun." Tubuh ini mundur ketika pria itu melangkah maju. Wajah bengis kami beradu, bak dua musuh yang hendak berseteru.
Untuk tiba pada titik di mana aku berani menatap nyalang, telah melewati perjalanan panjang. Nyaris tiga tahun kami bersitegang, meskipun tak jarang pura-pura menjadi teman jika tengah membutuhkan. Bukankah amat menakjubkan?
"Krysrhea!"
Nyaliku mengecut. Mata dan bibir ini menganga serempak. Sebentar lagi, jiwa setannya akan menyumpah. Akhirnya, aku makin mundur penuh irama.
"Kau tidak memercayaiku sebagai dosen pengajar?" Matanya berkilat penuh emosi dan putus asa.
Ketika orang lain berbicara kepercayaan, aku hanya mampu tersenyum tipis.
"Niatku cukup baik. Aku memberi catatan agar kalian tidak perlu memahami buku beratus-ratus halaman." Ia mengusap wajah frustrasi. "Ya, Tuhan, aku tidak mengerti dengan pola pikirmu yang amat pendek," tohoknya sebelum menyorot keluar dengan wajah ditekuk kesal.
Bibirku terangkat sebelah. "Sama halnya denganmu. Aku pun tidak mengerti mengapa ada dosen yang garang seperti set-"
"Lanjutkan." Ia memotong geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIMMERIAN (Terbit)
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! BlURB Aku pikir, ia berselingkuh. Rupanya, akulah yang pantas disebut orang ketiga. Tidak sesederhana kami yang saling mencinta. Tak setolol istrinya yang rela berbagi. Bahkan, lebih rumit dari aku yang penuh suka memberin...