10. Diperkosa

239 0 0
                                    

Dua minggu berlalu, tapi sorot mereka masih bertanya-tanya. Mungkin karena wajahku yang sangat Asia akibat mengalir darah keturunan. Ibu lahir dari keluarga campuran Australia dan Cina, sementara sosok yang tak sudi kusebut namanya berasal dari Inggris.

"Rhea, jus mangga."

Alexia selalu seperti ini. Setelah merapal pesanan, aku yang harus berlari ke kasir untuk menyampaikan.

Bibir seksinya menyesap penuh semangat sembari melirikku aneh setelah mendapat pelepas dahaga. "Sampai kapan bekerja di sini?" Gadis itu berbisik.

"Sampai aku kaya," kelakarku sebelum menoleh ke belakang. Setiap karyawan yang bekerja di sini diberi waktu lima menit untuk berbincang dengan kenalan yang sudi bertandang ke kafe. "Di mana kekasihmu? Kau selalu sendiri jika kemari."

Alexia menyilangkan kaki sebelum berdecak kesal. "Apakah kau pernah memergokiku berkencan?" Jemarinya memutar sedotan.

"Atau kekasihmu terlampau banyak sehingga takut ketahuan berselingkuh jika membawa salah satu dari mereka?" Aku terkekeh samar.

Gadis itu hanya tertawa, menampilkan rupa nyaris sempurna di wajah campurannya.

Setelah berbincang cukup lama, aku undur diri. Ada beberapa meja dan kursi yang tubuh ini lewati. Tatapan mereka masih sama, fokus pada urusan masing-masing.

"Mister, kau datang?!"

Suara melengking Alexia membuatku berbalik, kemudian membenturkan mata cukup dalam. Tubuh ini merunduk, sekadar menyapa dari jauh bersama bibir yang tersenyum kaku. Namun, kontak mata kami terputus karena karyawan lain memanggil agar aku segera bergabung dengan mereka. Seperti hari-hari sebelumnya, kami harus melakukan evaluasi di ujung pergantian jam kerja. Aku pun baru menyadari bahwa malam telah tinggi.

***

Aku tidak berniat menghindar, selain agar diberikan ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi hari.

Tubuh ini merunduk ramah pada Alexia dan Mister Ares yang masih berbincang di meja sebelumnya. "Aku duluan."

Gadis itu sempat tersenyum, tapi tidak dengan Mister Ares. Ada sesuatu dan kekakuan di wajahnya yang tak dapat kugali. Netra ini pun hanya mampu menyorot melalui dinding kaca yang menampilkan rupa.

Semenjak bekerja, kami jarang bertemu kecuali jika ada kelas di kampus. Mister Ares pun tidak pernah menghubungi seperti tempo hari hingga lamarannya di hadapan ibu masih menggantung. Pria itu berjanji akan sabar dan berusaha, maka biarkan waktu berjalan dengan semestinya.

Tidak mudah, tapi aku cukup dewasa untuk sekadar mengambil keputusan bijak dan tidak meronta bak anak remaja ketika diminta menikah. Aku harus paham bahwa kebahagiaan tidak hanya perihal memuaskan diri sendiri, tapi juga orang terkasih yang selama ini telah menguras keringat untuk hidupku.

Mengingat yang tidak terlalu jauh dari kafe, berjalan kaki akan lebih menghemat biaya. Lagi pula, tidak ada taksi maupun bus di sekitar tempat ini.

Udara dari rongga hidung mengepul abstrak di udara. Aku tidak menyangka Melbourne akan sesepi ini di malam hari. "Sepi sekal—hmmmph!" Bibirku dibekap seseorang dengan sapu tangan. Ini obat bius, tidak boleh dihirup!

Pantulan dua orang bertubuh besar menggiringku ke tepi. Kekuatan ini memberontak kasar sebelum memekik teredam karena terseret ke gang buntu.

"Tolong! Argh ... mph! Tolong!" Ketika berhasil lolos dan menapak tanah dengan sempurna, aku mengerang kesakitan. Meskipun kaki ini terpelintir karena sepatu, aku harus selamat.

Malam ini benar-benar buruk. Bahkan, aku telah menjerit, tapi tak satu pun dari mereka yang mendengar dan membantu. Nahasnya, tubuh ini kembali terseret dan digendong paksa sebelum terlempar di gang buntu yang tidak pernah terjamah.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang