03. Saudara Perempuannya

91 2 0
                                    

Manusia tidak pernah ingin egois, kemudian meninggalkan orang terkasih yang selama ini berjuang untuk hidupnya. Namun, ego mereka membuat kecewaku mencari pelarian hingga enggan bertahan meskipun kami tidak pernah melempar perseteruan nyata atas jiwa yang lebam. Dengan alasan sederhana bahwa jarak dari rumah menuju universitas memakan waktu dua jam dan berisiko macet di perjalanan, mampu membuatku lepas dari kungkungan keraguan ketika memutuskan untuk tinggal terpisah. Kepercayaan telah retak, tapi aku tetap mencintai.

"Di mana Alexia?"

Wajahku terangkat pelan sebelum menoleh ke belakang dengan telunjuk mengacung sebagai jawaban. Mata dan bibir ini menganga serempak setelah menyadari bahwa Mister Ares menggandeng tangan wanita. Pemandangan dan keberanian yang amat di luar dugaan.

"Emeline Hara. Senang bertemu denganmu." Wanita itu menyapa lembut dengan tangan terulur setelah aku beranjak sopan.

Bibirku tergagap. "Hai, Em—"

"Jangan memanggil nama. Emeline lebih tua darimu." Pria itu berucap dingin.

Tanggapanku hanya sunggingan canggung ketika wanita itu mendongak kesal, menatap Mister Ares. Ia sempat tersenyum menggoda dengan semburat merah jambu yang mampu membuat insan terpukau. Emeline mengenakan dress longgar sebatas lutut bersama rambut yang diikat ke belakang. Auranya lembut, cantik, dan anggun dalam satu tubuh.

"Kakakku hanya bercanda." Eme menyengir kuda.

Oh, adik.

"Namamu Rhea, bukan? Krysrhea?" Kuperhatikan, netra bulat itu memancarkan binar. "Ternyata kau benar-benar cantik." Bibirnya beralih memuji.

Kelopakku berkedip linglung sebelum menunduk malu. Namun, ketika teringat sesuatu, wajah ini kembali terangkat. "Apakah Mister Ares pernah bercerita tentangku?" tanyaku penuh selidik, mengabaikan pertanyaan pria yang berusaha mengalihkan pembicaraan kami.

Emeline menatap sang kakak datar sebelum mengangguk kaku.

Menghilangkan kesal, aku mendarat di tempat semula tanpa kata, tepat ketika tirai teater menampilkan pertunjukan. Setelahnya, adegan dimulai dengan pesta dansa. Memperhatikan mereka mengenakan busana bak raja, ratu, dan rakyat Kerajaan Eropa ... bibir ini menganga antusias karena takjub. Imaji membawaku pada rupa Willis. Mungkin sangat memalukan, tapi kami pernah berencana menggelar pesta pernikahan ala kerajaan. Ironisnya, angan telah lenyap karena hubungan yang kandas.

"Ini untukmu." Emeline meletakkan kopi panas di bundaran lengan kiriku.

"Terima kasih, Miss."

Ia menggeleng lembut. "Panggil aku Eme." Senyuman itu amat memabukkan. "Kakakku memang berlebihan."

Seolah dipancing, wajahku mendekat ke telinganya karena menyimpan ragu perihal status mereka. "Selain berlebihan, Mister Ares juga galak. Apakah kau tidak dimarahi terus ketika di rumah?" Tawaku mengudara, tapi kembali bungkam ketika pria itu menyorot kami datar sebelum pura-pura sibuk dengan ponsel.

"Pertunjukannya di depan. Berhenti bergosip." Dosen sialan itu berdehem, sukses mengatupkan bibir kami.

Tidak ada pilihan. Setelahnya hening, kami hanyut pada pertunjukan. Pria itu memang tertutup perihal kehidupan pribadi dan tak jarang aku berpikir berbeda. Meskipun penampilannya sangat keren ketika mengajar, ia lebih pantas dijuluki suami muda atau duda beranak satu. Tak lupa, pahatan sempurna menunjukkan keagungan Tuhan. Makhluk garang itu sepertinya diciptakan dengan senyuman. Demi Tuhan, aku melirik Mister Ares diam-diam. Pria itu amat tampan, tapi garang bak setan.

***

Sungguh, berdekatan dengan Mister Ares benar-benar memupuk kecanggungan. Meskipun ada Emeline sebagai penengah jarak kami, leluasaku tetap terpenjara.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang