16. Ares Kecil

39 1 0
                                    

Karena Ares sibuk di universitas dan Eme tengah menghadiri peragaan busana, aku memaksa Alexia untuk mencari restoran khas Indonesia setelah menyaksikan acara Master Chef Indonesia beberapa waktu lalu di YouTube.

"Sampai." Telunjuk gadis itu mengarah ke bangunan seukuran ruko dengan atap melengkung seperti tanduk kerbau.

Menyelisik sekitarnya, aku menggigit bibir hingga membentuk ceruk gigi. Ini adalah tujuan kelima setelah empat tujuan lainnya kubatalkan sepihak karena berubah pikiran.

"Ayo, Rhea." Gadis itu menatap penuh binar ketika aku menoleh.

"K-kau lapar?" tanyaku tergagap.

Alisnya terangkat tanpa menjawab, mencetak desiran kagum di dadaku.

Perutku lapar. Namun, jika harus masuk ke sana tubuh ini tidak dapat diajak kompromi. Dengan tidak tahu dirinya, aku beralih ingin pulang dan terbenam dalam selimut.

Aku tersenyum bersalah sebelum mengusap tengkuk, kemudian menyelipkan rambut di telinga. "Aku tidak kuat masuk karena tiba-tiba tidak enak badan." Tenggorokanku dibasahkan oleh liur. "Kau bisa masuk sendiri dan biarkan aku menunggu di sini."

Tidak ada gurat kecewa, selain netra bundarnya yang berputar sebelum tertawa. Pipi gembul gadis itu tampak menggemaskan hingga membuatku tidak tega meskipun ingin segera tiba di ranjang. Mungkin ia telah kesal karena aku terlampau banyak permintaan.

"Beberapa minggu ini tubuhku benar-benar aneh." Aku menyengir kuda, mengupas hawa sungkan di wajah. "Ares dan Emeline mengatakan bahwa aku sangat manja."

Alexia menoleh cepat. Netra bundar nan memperindah garis campurannya menyelisik wajahku dengan senyuman abstrak. Ia tampak berpikir ketika kelopak ini berkedip penuh irama.

"Kau lebih dari tahu bahwa aku bukan tipikal wanita manja." Aku beralih ke depan dengan wajah penuh tanya. "Aku sering lemas dan mual hingga muntah dengan keinginan yang berubah-ubah seperti hari ini." Udara menghangat ketika aku mengembuskan napas lesu mengingat lambung yang hingga detik ini masih belum terisi. "Aku akan mengamuk jika Ares tidak segera pulang."

Tubuh ini tersentak ketika Alexia mencekal bahuku dengan sorot aneh. Netra bundarnya tak kalah berbinar, sontak membuatku makin tenggelam dalam ketidakpahaman.

"Kau hamil, Rhea!"

"Hamil?" Sorotku hilang fokus. Oh, Tuhan, bukankah aku sempat membeli alat tes kehamilan sebelum bertemu Willis di apotek? Namun, karena permasalahan sekembalinya dari sana, membuatku lupa dan tidak sadar hingga detik ini. Mengabaikan isi kepala yang berputar cepat dengan ekspresi bak orang tolol, semburat merah jambu di wajahku mungkin telah bersemi.

"Kau hamil."

"Benarkah?" Aku mengusap perut antusias, mengabaikan Alexia yang sibuk merogoh sesuatu dari dalam tas.

"Aku akan menelepon Mister Ares dan memintanya segera mengantar—"

"Jangan!" Aku mencegah. Ketika Alexia bertanya melalui mata, bibir ini tersenyum refleks. "Karena Ares telah sedari lama menantikan kehadiran buah hati di pernikahan kami," aku menghela udara agar tidak sesak, "aku tidak ingin membuatnya berharap lebih jika fakta mengatakan bahwa ini hanya demam biasa. Jadi, aku akan memastikan sendiri sebelum memberitahu Ares."

Mobil ini mundur perlahan bersama senyuman sang empunya, meninggalkan pekarangan restoran. "Aku yakin kau hamil. Keluhanmu sangat jelas." Fokusnya menyorot ke depan.

Meskipun tidak terlalu yakin, hal yang disangkakan Alexia bisa saja terjadi.

Aku memperhatikan perut yang tidak menandakan kehadiran apa pun di sela harapan kepada Tuhan bahwa asumsi kami adalah benar. "Jika positif, aku akan memberinya hasil tes kehamilan sebagai kado terindah," lirihku sebelum terpejam.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang