29. Pahit Lagi

27 3 0
                                    

Sejauh apa pun Ares pergi, ia bersumpah akan kembali.

Aku bersandar santai di sofa ruang tamu dengan wajah menunduk, mengusap-usap perut pelan sembari tersenyum samar. Makin besar anak ini tumbuh, makin dalam pula Ares membawa rindu yang setiap hari harus kutanggung dan berpatok pada kesabaran bahwa sebentar lagi mungkin ia akan kembali. Namun, nyaris sepuluh hari pria itu tidak memberi kabar setelah empat hari sebelumnya masih melayangkan pesan.

Ya, Ares mengatakan tidak akan menghubungiku lagi setelah perbincangan terakhir kami. Banyak keputusan berbahaya yang akan ia ambil, dan hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan benar jika wajahku masih menari-nari di benaknya.

"Bukankah itu berarti bahwa kau melupakan kami ketika sedang bekerja?" Senyumku terbit karena hati tercubit—atau merasa tolol?

Rhea, dunia gelapku tidak pernah main perasaan. Jika ada, itu pun hanya setitik. Sementara itu hubungan kita nyaris keseluruhan menggunakan rasa. Aku dapat mendengar perkembangan bisnis ketika bersamamu, tapi entah mengapa aku tidak mampu mendengar suaramu jika sedang bergelut pada bisnis—pasar gelap—karena semuanya akan kacau.

Bibir ini terkekeh tolol. Itu risiko yang harus kutanggung sebagai istri mafia gila. Mengingat Ares, mendorongku melirik ponsel berkali-kali. Pertanyaan seputar apa yang pria itu lakukan dan bersama siapa ia tinggal atau menghabiskan malam, menggerus rasa percaya yang kuanggap sebagai kewajaran.

Setelah menendang hebat beberapa menit lalu, kini hanya tenang. Mungkin ia telah letih bermain seorang diri karena sang ayah tidak segera kembali. "Kita akan membuat kue untuk teman mommy sembari menunggu ayahmu pulang." Senyumku merekah bebas, kemudian melangkah pelan sebelum berbalik spontan ketika entakan sepatu mengganggu rungu.

Rindu yang menggunung menguap lenyap ke permukaan, mendorong tungkaiku berlari kecil ketika sosok sialan itu telah berdiri di ambang pintu dengan lengan terentang, hendak memeluk. Setelahnya bisu, selain dekapan yang mengetat. Kesempatan ini kugunakan untuk mengisap feromon memabukkannya.

"Aku membawa nasi padang." Pria itu terkekeh, membuat netra ini menyorot genggamannya sebelum mendongak dengan sisa air mataku yang ia usap. "Ugh, menangis." Ares mencubit pipiku geram.

"Kau tampak kurus." Entah mengapa wajah Ares tampak keruh meskipun senyumnya mampu memberi ketenangan.

"Kau tampak gendut. Pasti anak kita sehat sekali." Ares mengecup dahiku berkali-kali sebelum berjongkok, memberi sapaan hangat pada Ares kecil. "Sayang, daddy sudah pulang."

Aku mengangguk penuh semangat, kemudian meletakkan plastik di meja dan menurut karena Ares menggiring tubuh kami ke sofa. Ketika hendak berbalik, aku terpaku karena wanita yang mematung di balik punggung pria itu melenyapkan kepingan bahagia. Tulang ini melemah, tapi masih mampu menciptakan jarak di antara tubuh kami.

"Rhea, aku kemari bersama Adhel ...."

Aku mengangguk berat dengan senyuman paksa. "Kalian bisa berbincang berdua karena aku tiba-tiba pusing dan ingin tidur." Tak peduli, raga ini berbalik sebelum terhenti karena Ares menahanku.

"Rhea, A-Adheline ingin bertemu denganmu." Pria itu tergagap.

Ketika beralih ke Adheline, wanita itu tersenyum hangat. "Aku Adheline." Ia menyapa.

Jika tidak suka, akan tetap tidak. Senyum kecutku makin memenuhi bibir. "Aku sudah tahu."

Pria itu tampak kaku setelah guratku berubah keruh. Tingkahnya membuat bibir ini tergigit, berupaya menahan sakit. Cengkeraman Adheline yang mengetat pada tas tangan pun memberitahuku bahwa keduanya tengah gelisah.

Kelopakku menyatu bersama pemikiran. Meredam emosi sebelum tertatih menuju dapur, aku menyiapkan minum untuk keduanya. "Duduklah. Aku buatkan minuman, sebentar."

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang