33. Kelam

31 3 0
                                    

Tidak ada siapa pun di jalan lengang berbatas kayu kiri dan kanan, selain gesekan batu dari sepatu yang kukenakan. Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul delapan malam, tapi desa ini telah mati.

"Maafkan mommy, Sayang." Aku menghela napas penuh sesal, merutuki kecerobohan karena tidak menyadari bahwa stok mingguan telah habis.

Kemarin adalah hari terakhir Amarel berada di sini. Kesempatan itu yang kugunakan untuk bermain seharian hingga seluruh letih mengumpul di tubuh, berakhir terlelap hingga petang dan baru menyadari bahwa rencana mengisi kulkas dengan bahan makanan tadi sore hanya tinggal angan-angan.

Netraku melirik sekitar sembari mengingat perkataan Willis bahwa desa ini tergolong aman untuk pejalan kaki. Namun, senyap tetap merasuki, menyebabkan seluruh rasa berkumpul termasuk pemikiran buruk perihal orang jahat. Untuk menyiasatinya, aku bersenandung lirih sekadar memecah kesunyian malam.

Imajiku sirna, tergantikan dengan fakta yang jauh lebih mengerikan. Aku harap, letusan senjata api beberapa detik lalu hanya mimpi. Namun, lenguhan seseorang sebelum terjerembap pada ranting memberitahu bahwa lesatan peluru yang mengudara telah memakan korban jiwa.

Raga ini berbalik cepat dengan tubuh bergetar, tenggelam di tengah keterkejutan ketika sosok yang tak kusangka kehadirannya tengah berlari kencang sebelum terseret ke belakang oleh tujuh pria berotot. Tungkaiku hendak mendekat. Namun, ia menggeleng dari jauh.

"A-ares ...," lirihku sengau karena genangan air mata beriringan dengan ingus dari hidung.

"Pergil!" Pria itu memekik pada pria yang mencekal kedua tangannya. Namun, perintah Ares lebih terdengar untukku. "Tinggalkan aku sendiri!" Ia memekik lagi.

Tubuhku makin bergetar karena kebingungan dan takut.

Pria itu sama sekali tidak melirik, tapi lolongan bibirnya lagi-lagi terdengar bak perintah untuk akal sehatku. Akhirnya, tungkai ini melaju sebelum menoleh ke belakang ketika pukulan yang Ares beri makin membawa tubuh pria itu pada rasa sakit karena balik dipukuli bertubi-tubi.

"Pergi yang jauh! Tinggalkan aku sendiri!"

Aku tergugu sebelum mengumpulkan kekuatan yang dirampas oleh rasa khawatir dan takut. Tungkai ini mendekat refleks sebelum terhenti dan berbalik arah ketika Ares menggeleng, tanpa memberitahu sekitar bahwa kami tengah berkomunikasi. Sisa tenagaku meninggalkan bayangan pekat pengisi luka.

Napas ini tersengal dengan keringat jagung yang mengalir deras di pelipis setelah melangkah agak jauh. Kemudian, aku hanyut dalam pemikiran. Sebesar apa pun keinginanku untuk mendekati Ares, atau setidaknya memekik agar bantuan datang, kenyataan tetap lebih menakutkan dan berisiko. Bisa saja aku balik terseret dan ikut menjadi tawanan tanpa seorang pun yang menolong—mengingat desa ini telah mati. Akhirnya, rasa takut ini memilih lari dari kenyataan.

Cairan bening dari sudut mataku luruh, masih di tengah luka dan ketakutan. Tak peduli alasan pria itu berada di sini karena yang terpenting, aku harus menyelamatkan diri demi si kecil.

Aku berlari semampunya ketika mendengar jejak sepatu yang mendekat. Namun, tubuh itu belum tampak karena tertutup jalanan berbukit. Logikaku, tidak mungkin melewati jalan yang sama untuk pulang. Tetap melanjutkan langkah pun ide buruk karena supermarket masih sangat jauh. Bisa saja penjahat itu makin menyadari kehadiran sosok selain Ares dan mudah menemukanku di tengah sorot lampu jalan. Akhirnya, ketika menemukan jalan setapak, aku berbelok cepat. Setidaknya, pepohonan mampu memberi persembunyian.

Udara di paru-paruku berdesakan. Letih bercampur nyeri pada perut membuatku tidak sanggup melangkah lagi dan memutuskan bersandar pada pohon rindang. Cacing laparku meronta, senada dengan rasa sakit lainnya.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang