05. Adanya Getaran

89 1 0
                                    

"Mungkin beberapa bulan setelah pernikahan mereka, kami akan pindah ke Amerika. Jadi, ini pertemuan intens terakhir kita." Itu yang Claire ucapkan terakhir kali di detik-detik berharga pertemuan kami.

Andai sepasang pengantin itu bukan mereka, mungkin aku dan Claire akan bercengkerama, mengutuk rupa masing-masing yang mirip wanita penggoda. Namun, bibir ini hanya bungkam dengan pertanyaan membosankan yang bersarang di kepala. Dari sekian banyak wanita, mengapa harus ibu Claire? Tidak adakah wanita lain yang lebih masuk akal di otak kami?

Tidak sanggup berada di tengah senyum kebohongan bersama hiruk-pikuk, aku mengasingkan diri di kursi taman hotel. Melalui pancaran mentari, jiwa ini mengharapkan sukacita.

"Jika masih mual dan ingin muntah, mengapa mengajakku kemari? Aku antar pulang saja."

Aku menoleh ke sumber suara dengan jantung berpacu, menemukan Mister Ares yang sibuk menenangkan Eme karena sesenggukan.

"Aku ingin di sini, tapi janin di perutku rewel sekali." Eme menolak dengan napas naik turun.

Aku terkejut dan beralih ke perutnya sebelum tertegun karena tonjolan sederhana yang mampu membuat raga ini terpaku. Ya, wanita itu tengah mangandung. Aku beralih pada Mister Ares yang terdiam, tak lagi melancarkan bujukan karena Eme enggan mengangguk. Ketika usapannya mendarat pada perut sang adik dengan penuh khawatir—seperti ekspresi yang kutemui ketika punggung tangan wanita itu terkena air panas karena ulahnya sendiri— mampu menyiram dada ini dengan kehangatan.

"Ibumu sungguh keras kepala." Pria itu mendongak setelah mengusap perut Emeline. "Apakah kau tidak membawa minyak hangat?"

"Bukankah habis?" Emeline makin lesu.

Drama di ujung sana membuatku menunduk perlahan, berusaha mengatur napas sebelum meraih minyak hangat dari tas dan mendekat ke arah mereka. "Kau bisa memakai milikku."

Keduanya terpaku, sibuk menatap uluran tanganku. Imaji mereka seolah berkejaran, mencari tahu siapa gerangan sosok yang mematung dengan penampilan bak wanita penggoda.

"Adikmu membutuhkan ini, Mister." Senyuman samarku mengibarkan bendera profesional.

Mister Ares berdehem, kemudian meraih minyak hangat di genggamanku ketika Eme menunduk. Pria itu membuka tutupnya sebelum mengusap tengkuk sang adik dengan telapak

tangan. Aku tersenyum ketika wanita itu mendongak, menampilkan wajah pucat di balik make up sederhana.

"Rhea, kau kemari juga?" Ia menarik napas sembari menahan mual dengan wajah tersiksa. "Bersama siapa?"

"Sendiri." Mataku berkedip prihatin. "Sepertinya kau sakit. Mengapa tidak pulang saja?

Kasihan janinmu," lanjutku agak kikuk.

Mister Ares agak terkejut, begitu pun dengan Eme. Keduanya menatap kosong sebelum berdehem kaku sementara aku sibuk dengan isi kepala yang sedari tadi tidak menyangka bahwa wanita itu telah menikah dan kakaknya masih melajang. Kasihan Mister Ares ....

Hatiku tersenyum setan.

"Kakimu sudah sembuh?" Emeline beralih menyelisik kakiku yang tertutup.

"Su-sudah," jawabku tergagap. "Tidak perlu dipikirkan." Aku beralih pada Mister Ares. "Mister, sebaiknya Emeline dibawa ke kamar. Kau bisa mengoles minyak hangat di perutnya. Permisi." Tungkaiku melangkah tergesa.

Demi wajah Eme yang tampak letih, aku enggan bertemu dengan kakaknya dan takut jika pertemuan kami berujung perdebatan memuakkan. Perihal pemberian beberapa hari lalu, akan kubahas di lain waktu karena tidak enak jika harus berbicara di depan setan.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang