24. Pertengkaran

25 4 0
                                    

Aku mendidih dan tidak mampu lepas dari tanda tanya perihal Emeline yang kepergok pesta narkoba. Namun, yang menjanggal kuat adalah sang suami. Fakta seolah menolak bahwa pria itu hanya orang biasa. Jika dugaanku benar, ke mana saja Ares selama ini? Mengapa kegilaan istri pertamanya luput dari pengetahuan? Ia pun tidak seperhatian itu padaku hingga Eme tertelantarkan.

"Rhea, mengapa tidak memberitahu jika sebentar lagi mommy memiliki cucu? Tadi malam, Ares menelepon." Helaan napas dan tatapan kesalnya membuatku terdiam.

"Sudah empat bulan, tapi aku baru mengetahuinya beberapa hari lalu." Penuh keengganan, aku berdusta.

Tidak terlintas niat untuk mengelabuhi ibu. Namun, perihal anaknya yang nyaris bercerai dari sang menantu sebelum kembali terperosok ke permainan memuakkan adalah lagu pedih nan tak pantas ia dengar.

Ibu mengusap rambutku. "Jangan sembunyikan apa pun lagi karena mommy tidak suka." Lengkungan bibirnya memberiku kekuatan. "Ingat, kau telah bersuami dan sepantasnya putri mommy terbuka." Ia menggeleng tidak habis pikir, membuatku menunduk dalam beku.

Andai semudah itu, maka telah sedari lama aku mengadu betapa pedihnya menjadi orang ketiga di tengah tekanan. Namun, aku tidak sanggup membuatnya kecewa perihal sang putri semata wayang yang hadir di pelayaran orang lain. Amat menyesakkan dan hanya aku yang pantas menikmati rincinya.

Air mataku tiba-tiba hendak luruh sebelum terusap, kemudian menguap selebar mungkin agar tidak ketahuan menahan tangis. "Iya—"

"Sayang ...."

Wajahku beralih ke pintu, menemukan Ares yang menyembul dari sana. Genangan bening kembali mengumpul, meremas butir-butir kerinduan. Namun, aku hanya mampu mengepalkan tangan, menahan semburan api panas yang ingin sekali termuntahkan. Wajah tampan pria itu ingin kutampar, kemudian memekik betapa benci aku pada istri pertamanya. Lagi, hanya kelopak mata yang terkatup ketika ia mendaratkan kecupan hangat di dahi dan perut ini.

"Mom, kapan tiba?" Ia mencium pipi kanan dan kiri ibu sebelum mendarat di belakang tubuhku yang duduk menyamping. "Aku pikir Mommy tidak kemari secepat ini setelah tahu perihal cucu pertama." Pria itu terkekeh hangat sementara aku hanya mampu menunduk.

Ujung bajuku makin kusut.

"Aku bisa menjemput Mommy ke rumah meskipun baru tiba."

Malaikatku tersenyum. Bahagia yang nyaris sempurna di wajahnya membuat hati ini makin retak berkeping-keping. "Setelah tahu Rhea positif hamil tadi malam, mommy sangat ingin kemari. Bukankah kau tengah mengurus bisnis di luar negeri?"

Hening ....

Ibu menghela napas frustrasi sembari menyorotku putus asa. "Sayang, bagaimana mungkin kau sampai tidak tahu jika telah berisi?" Ia beralih pada Ares setelah menyentuh perutku. "Kalian ceroboh."

"Ini salahku yang terlampau sibuk dan lupa bertanya padanya." Pria di punggungku berdehem canggung akibat sandiwara.

"Aku terlampau sibuk kuliah." Aku menambahkan.

"Apa pun itu, kau tetap membutuhkan perhatian lebih. Baik berasal darimu, atau Ares yang harus siaga sebagai suami." Ucapan yang seharusnya terdengar biasa, kali ini amat menohok.

Raga ini kaku dengan sorot ragu ketika merasakan kebekuan melalui bahu. "Tidak sesulit itu. Aku mampu menghadapinya sendiri jika Ares mengajar atau mengurus bisnis," belaku sebelum berdesis ngilu karena otak ini melolong sakit.

Ibu tersenyum paham. Namun, seluruh beban bak menyatu di pundakku. Seluruh luka seolah-olah hanya aku pemiliknya hingga cairan bening di pipi tak mampu terbendung lagi ketika ia undur diri. Tepat ketika punggungnya ditelan pintu, luka ini makin meluap.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang