31. Kami Berakhir

43 3 0
                                    

Ujian beberapa hari lalu hanya menunggu hasil. Itu pertanda bahwa sebentar lagi memasuki liburan semester. Namun, aku lebih dulu mengajukan cuti ke universitas guna menciptakan kenangan panjang bersama si kecil hingga waktu persalinan tiba. Tak ada mata kuliah berarti di semester depan selain skripsi yang harus disusun jika saja tidak memutuskan cuti.

"Rhea!" Suara khas itu berasal dari bibir seksi Alexia, sontak membuatku menoleh. "Dosen Pembimbing Akademikmu belum ganti?"

Aku mengerutkan dahi sejenak, berpikir keras karena pertanyaannya tergolong tiba-tiba, yang berujung kubalas dengan gelengan setelah mengingat. "Be-belum. Mengapa? Bukankah Dosen Pembimbing Akademik tidak akan diganti hingga aku lulus kuliah?"

Gadis itu menepuk dahi, menyorotku gelisah dengan bibir yang dibasahi berkali-kali. "Kau harus meminta tanda tangannya."

Tak ada keterkejutan di wajah ini karena tahu pertanyaan beberapa detik lalu hanya formalitas untuk mengulur kenyataan. Setelahnya aku tercenung sesaat, kemudian menunduk refleks dengan bibir tergigit ragu.

Alexia tampak makin gelisah. "Aku tidak yakin Mister Ares sudi membubuhkan tanda tangan di surat itu jika bukan-"

"Aku yang akan ke ruangannya." Wajahku mendongak cepat.

***

Sepuluh menit berlalu, hanya berisi keheningan. Tak seorang pun sudi membuka suara, meskipun di awal pertemuan bibir ini telah merapalkan niat. Akhirnya, membuatku menunduk bosan sembari mengusap-usap perut bagian bawah dengan pergerakan santai.

"Di rumah sakit mana kau akan melahirkan?" Pria itu mencairkan kebekuan, sukses membuat bibirku terangkat samar sebelum menggeleng.

Belum ada gambaran berarti mengenai di mana si kecil akan kulahirkan. "Aku tidak tahu," balasku, masih enggan menyorot wajahnya.

"Rhea-"

Aku mendongak berat. "Bisa tandatangani surat cutiku segera?" pintaku dengan sorot bergetar ketika netra kami beradu. Tatapannya menyiratkan mohon, seolah meminta penjelasan lebih bahwa aku harus jujur.

"Tidak akan jika kau tidak memberitahuku." Ia mengancam.

Mengabaikan, tatapanku jatuh pada rak bukunya. Detik ini, imaji mulai mengenang masa-masa di mana gadis tolol dengan rok mini mati kaku karena diumpat sang dosen. Aku makin melengkungkan bibir samar setelah menyadari hal lain. Tak ada aroma Emeline di ruangan ini karena telah tergantikan dengan aroma tubuhku.

"Tolong, tanda tangani surat ini segera, Mister," tekanku dengan suara bergetar, tak mampu lagi berlama-lama di hadapannya.

"Kau akan pergi ke mana?" Ia masih menuntut.

Menyerah, napasku terhela. "Ti-"

"Sebenci apa pun kau padaku, sang durjana tetap ayahnya. Aku berhak tahu di mana ia akan dilahirkan." Genggaman Ares mengepal di atas meja. Jakunnya naik turun ketika kuperhatikan.

"Aku bukannya tidak ingin memberitahu." Aku mengelak dengan gelengan. "Namun, kami butuh ketenangan. Biarkan aku menghabiskan waktu, menikmati masa kehamilan tanpa siapa pun." Untuk mengutarakan ini, aku telah mengumpulkan keberanian sedari beberapa menit lalu.

Dadaku teremas ketika Ares mendongak, mengedipkan mata sembari mengatur napas. "Termasuk dariku?" Ia menatapku lagi. "Ayah kandungnya?"

Napasku tersendat. Udara mulai berdesakan, mengisi paru-paru. "Selama ini aku terlampau egois hingga lupa bahwa anakku pun membutuhkan ketenangan." Aku menggeleng santai. "Jangan khawatir, ia akan selalu baik-baik saja. Aku bersumpah."

"Rhea-"

"Aku akan pergi ke tempat menenangkan tanpa siapa pun selain kami." Sorotku mulai menerawang, memperhatikan luapan-luapan abstrak dari luka baru. "Aku pun akan menghubungi seseorang yang perlu kuhubungi jika masa persalinan telah dekat."

"Rhea, izinkan aku mengurus kalian. Aku-"

"Tolong, jangan lukai aku lagi. Beri kami ketenangan." Bibir dalamku tergigit ketika tinta basah ia bubuhkan pada kertas putih, pertanda menyerah. "Aku tidak akan menghindar jika kau ingin menemuinya, tapi kau pun tak berhak memaksa jika aku ingin sendiri."

Mungkin kami dipertemukan di waktu yang salah, atau Tuhan yang terlampau kejam memainkan takdir-Nya. Hingga kami luka, luka, dan luka.

Aku beranjak, beralih ke sisi kanan tubuh Ares perlahan. Baju terusan sepanjang tulang kering di tubuh ini berayun, menyaratkan nyeri pada dada. "Kau bisa menyentuh putrimu."

Dengan mata merah penuh binar, ia tergagap dan tenggelam di tengah kesenduan. "Perempuan?" Getaran bibir Ares terbuka dan terkatup, seirama dengan dadaku yang kembang kempis.

"Hm." Bukankah ia berhak mengetahui jenis kelamin sang putri? "Aku melakukan USG tiga hari lalu. Ia perempuan."

Ares menatap perutku nanar. "A-aku akan memiliki pu-putri?"

Aku terpejam setelahnya, tak akan melihat. Namun, telinga yang berusaha tuli tetap mendengar, dan kulit yang berusaha mati rasa pun tetap mampu merasa ketika usapan serta racauannya mengalun dan amat memabukkan, mampu membuatku meringkuk nyaman.

"Jadilah gadis kecil yang baik, Sayang. Nanti daddy akan menjemput kalian." Ia mengecup perutku.

Kain lembut di samping pahaku mulai kusut karena remasan, pelampiasan atas luka. "Arhe harus ingat apa pun yang pernah daddy katakan."

Nama itu mampu membuat kelopakku makin terpejam dan tenggelam dalam paradoks. Batin ini berseteru antara benci, cinta, ingin, dan tak ingin ketika kecupan basah ia daratkan di pipiku.

"Aku masih berhak tahu karena bagaimanapun, kau tetap istriku. Kita tidak bisa bercerai sebelum kau melahirkan." Ia berucap tegas.

"Ya, mari bercerai setelah," aku menelan ludah sebelum membuka mata, "aku melahirkan. Jangan pernah meminta hak asuhnya karena anak ini ... akan tetap bersamaku hingga kapan pun." Aku menekan setiap kalimat.

Itu harapku, tapi mengapa dada ini meraung pilu?

To be continue ....

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang