02. Berusaha Terbuka

173 4 0
                                    

Daun menari di balik kaca transparan mampu menarik perhatian. Namun, tatapan ini tak kurang dari sia-sia sebelum beralih pada sang empunya kuasa atas nilai para pendamba—dosen sialan.

Mister Ares memeriksa data dari laptopnya, kemudian memperhatikan penjuru kelas, tak terkecuali aku, meskipun terkesan santai. "Nilai tertinggi UTS minggu lalu jatuh kepada Alexia Mirad." Itu yang ia ucapkan sebelum menerima sorakan.

Tidak menarik selain isi kepala dan hatiku yang terbakar, adu kepanasan dengan kesakitan ketika mengingat dress dan sepatu pemberian Claire untuk menghadiri pernikahan sang penabur luka. Jika banyak lara daripada suka, tidak ada gunanya Tuhan menciptakan kehidupan. Aku tidak pernah ingin menyalahkan, tapi apa daya jika ego meradang atas pilu dan lebam?

Pelampiasanku berakhir di ruang tari, sekadar melepas emosi bersama pikiran-pikiran. Tubuh dan luka seolah meliuk-liuk, mengikuti embusan angin dari luar serta amarah yang menyatukan jiwa raga. Lengan ini terangkat bebas sebelum merunduk dan berputar di sela deru napas, penuh tetesan air mata. Aku luka. Rasa sakit itu nyata meskipun tak berdarah. Namun, ketika benda pipih di tas berdering, aku melangkah menuju meja dan mengakhiri seluruh penghayatan rasa.

"Rhea, apakah kau masih di kampus?"

Aku berdehem sebelum menarik napas, berusaha menghilangkan parau. "Masih, Mister. Ada apa?"

"Tolong input hasil kuis setengah semester ini. Aku tidak sempat. Nanti malam harus diserahkan ke prodi."

Jika tidak sempat, sebaiknya kau mengundurkan diri! Jiwa jahatku menjerit. Bahkan, ia tak peduli dengan helaan napas letih yang amat butuh bantuan. Akhirnya, aku mengangguk pelan, tidak berharap pria itu memompa darah hingga amarah ini meluap ke permukaan. "Tapi jangan membuatku—"

"Aku tunggu." Ia memotong sebelum menutup panggilan.

"Sialan!" Kakiku mengentak lantai karena geram.

***

Bersama sumpah serapah dalam hati, aku mendarat tenang di hadapannya. Meja ruangan ini hanya satu, itu sebabnya kami duduk berseberangan bersama jari dan mata yang bergerak antusias penuh keseriusan. Sesekali aku menyesap jus agar tidak bosan, kemudian mengunyah penuh semangat karena Mister Ares juga meletakkan satu bundar pizza besar sebagai sogokan dan aku berjanji akan membantunya hingga selesai. Tidak ada lagi rasa malu. Bagiku, keheningan dan kecanggungan di antara kami hanya lagu lama yang akan memperumit keadaan.

"Kau terlihat tidak baik akhir-akhir ini. Bimbingan sekaligus memasukkan nilai, rasanya tidak buruk." Pria itu mencairkan kebekuan.

Aku bungkam, meliriknya sekilas sebelum berkutat lagi pada pekerjaan. Jika alasan Mister Ares menarikku kemari karena ingin mengorek informasi mengenai masalah yang mahasiswinya hadapi, kuakui ia benar-benar bernyali.

"Kau tidak berhak tahu." Jus mangga menempel di bibirku, mengabaikan kekehannya yang penuh dengan aura sombong.

"Entah mengapa aku merasa bahwa prestasimu menurun drastis." Ia tertawa remeh menyambut kebekuanku.

Tak seharusnya keegoisan mereka mampu menjadi faktor penentu sejauh mana aku bertahan. "Aku memang jarang belajar." Aku mengelak.

"Jangan terlalu banyak pacaran."

Mendengar kalimatnya, tanganku mengepal di bawah meja. Ingin memaki, tapi enggan diancam. Ingin pergi, tapi tak sudi ingkar janji—akhirnya aku memaku di tempat yang sama. Gondok dalam dada masih terkurung bersama hawa yang ingin kuhabisi.

"Ada yang salah dengan hidupmu?" Pria itu berujung to the point dengan tatapan menuntut.

Aku menggeleng sebagai jawaban sebelum menunduk, menatap keyboard. "Mister—"

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang