06. Victoria's Sky

54 1 0
                                    

"Masuk." Ekspresi pria itu tampak beku, mampu membuatku mendekat bersama kaku sebelum mendarat pada kursi.

"Apakah kau memanggilku, Mister? Alexia mengatakan begitu." Lenganku bersilang. "Mengapa tidak menelepon?"

Setelah pesta pernikahan ayah tiriku dan ibu Claire, Mister Ares jarang ke kampus berlebih menemuiku. Ia pun menghindar jika kami tidak sengaja berpapasan.

Anggukan pria itu menguarkan dingin dan hening sebelum menatapku datar. Di wajahnya, kutemukan gurat sendu dan kacau.

"Ikut aku ke apartemen." Pria itu menarik tanganku setelah beranjak.

"Kau pikir aku gila?" Mataku melirik tajam, berusaha melepas cekalannya.

Kelopak gusarnya menyatu. "Rhea ...." Ucapan pria itu menggantung ketika aku menggeleng.

Sungguh, ini adalah ajakan terekstrem yang pernah pria itu layangkan. Tidakkah apartemen terlalu privasi? Bahkan, tak jarang aku berpikir bahwa ruangan ini pun tergolong tertutup.

"Aku tidak akan melakukan hal negatif. Ayo, ikut." Pria itu menarik tanganku lagi, tapi terlepas kasar karena kusentak.

"Kau pikir, ada tempat yang lebih baik selain ruangan ini?" Netraku berputar setelah mendumal sarkas.

"Aku tidak segila yang kau bayangkan." Ia mengusap wajah frustrasi sebelum berusaha meyakinkanku dengan tatapan.

"Kau memang tidak segila yang aku bayangkan, tapi kau memiliki peluang menjadi lebih gila dari apa yang bahkan tak pernah kubayangkan." Balasanku tak kalah menohok.

Pria itu meraih ponsel di saku yang sedari tadi berdering, tapi ia abaikan sebelum melempar kertas kecil ke meja. "Temui aku di Victoria's Sky, pukul dua siang. Jadwal kuliahmu kosong setelah ini. Jadi, jangan menolak karena Emeline mengidam ingin makan bersamamu di sana. Jika tidak percaya, kau dapat menghubunginya langsung." Ia berlalu, meninggalkan kebingunganku.

Andai bukan Eme, aku tidak sudi menuruti perintahnya.

***

Aku melirik jam berkali-kali. Sepatu ini pun tak hentinya mengetuk lantai sebagai pelampiasan atas bosan karena menunggu. Berkali-kali telunjukku menekan bel, berkali-kali pula tidak mendapat jawaban. Sudah berusaha menghubungi, hasilnya pun sama—nirbalasan.

Tubuhku terhuyung karena seseorang menyeret dari belakang ketika tungkai ini berayun hendak pulang. Setelahnya, kami tenggelam di apartemen mewah yang benar-benar merusak nyali. Namun, ketika menemukan sang empunya, napasku berembus gondok sembari menatap nyalang.

"M-maaf, tadi aku sedang di toilet." Mister Ares mengusap tengkuk, merasa bersalah.

"Kau pikir aku peduli? Di mana Emeline?" Bibir ini bungkam ketika pria itu menyodorkan minuman kaleng yang kuterima setelah mendarat di sofa.

"Eme tidak bisa datang. Adikku ada pekerjaan mendadak di butik."

Kau seperti berbohong, Mister .... Mataku berkedip, mengais kebenaran informasi sebelum beranjak.

Mister Ares menahan tanganku dengan napas naik turun. "Rhea, aku ingin bicara." Ia membasahi bibir.

"Katakan, dan jangan membuatku naik pitam." Aku menyentak tangannya sebelum kembali duduk.

"A-aku ingin mengatakan sesuatu." Pria itu tergagap. "Rhea, aku me ... tunggu di sini, oke? Aku ambilkan kue sebentar."

Aku hendak merapal, tapi tubuh Mister Ares lebih dulu tenggelam di balik dinding. Memperhatikan punggungnya yang gagah, napas ini terembus memuja. Pria dengan berbagai macam tingkah sepertinya benar-benar menguji kesabaran.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang