20. Filsafat Cinta

25 3 0
                                    

Dua pertemuan berlalu, tapi mereka masih antusias membahas kehamilanku. Hal ini tentu saja telah melewati negosiasi panjang bersama Alexia. Gadis itu mengatakan bahwa lambat laun makhluk mungil di perutku akan kentara. Jadi, tidak ada gunanya menutupi kehadiran.

Sang pendamba nilai sempurna memberiku semangat berkuliah. Mereka berbeda—lebih menghargai—dan mengatakan bahwa aku tampak dewasa karena tidak banyak berbicara. Tentu saja, benang kusut di kepala jauh lebih menarik daripada berkecimpung dengan celotehan panjang mereka.

"Jangan diajak berbicara. Bukankah Rhea telah memberitahu bahwa ia sedang mual?" Kahi melarang Angela Jue yang hendak mendekat, mencetak sunggingan samar di bibirku.

"Aku baik-baik saja. Ada apa?"

Gadis itu menggeleng tidak jadi dengan rengutan khas yang mengarah pada Kahi. "Aku hanya ingin bertanya perihal mata kuliah Mister Ares, tapi nanti saja," ucapnya sebelum melambai.

Mengingat nama pria itu, aku tercenung. Status kami masih mengambang karena aku belum sempat melayangkan gugatan cerai yang benar-benar membutuhkan proses panjang meskipun telah memutuskan tinggal di apartemen Alexia tanpa sepengetahuan siapa pun. Aku harap, pria itu tidak mencari ke rumah. Melihat ibu kecewa karena ulah cinta buta kami, aku sangat belum siap.

Kedipanku membuyarkan imaji ketika Ares menyembul dari balik pintu.

"Selamat pagi. Apa kabar, semuanya?" Ia menyapa setibanya di samping meja dengan spidol, tanpa buku dan laptop.

"Aku baik ...." Dahiku mengernyit. Ada sesuatu pada lengannya, memutar kilas balik mengenai luka sayatan yang belum kering ketika di Luna Park. Otakku pun berbenturan dengan keributan kami perihal senjata api. Tidak mungkin Ares seorang mafia. Beberapa bulan bersamanya, pemikiranku tersebut memang tidak berdasar.

"Mister, kami memiliki berita hebat! Rhea," penjuru kelas menyorotku antusias ketika Kahi merapalkan nama, "musuh bebuyutanmu, telah menikah dan tengah mengandung dua bulan!" pekiknya girang. "Ucapkan selamat pada teman kami yang sebentar lagi menjadi ibu, Mister."

Aku menunduk kaku, mengabaikan tatapan Alexia yang memberi kekuatan. Dengan keberanian seadanya, wajah ini mendongak lagi. "Kalian berlebihan," ujarku canggung, tapi mereka abaikan.

Cairan bening di sudut kelopak telah mengumpul dan tidak sudi kujatuhkan lagi. Dalam diam aku mengakui bahwa melewati masa kehamilan tanpa didampingi suami—meskipun Alexia selalu memberi apa pun yang kuingin—amat menyesakkan dada karena Ares kecil menyukai sang ayah.

Aku pun telah memblokir nomor ponsel pria itu dan tidak menerima panggilan dari nomor baru mana pun. Ada masanya, tapi tidak sekarang. Keegoisanku membutuhkan waktu luang.

"Selamat atas kehamilanmu, Rhea. Aku ... sangat bahagia mendengarnya." Bibirnya tersungging samar di sela ketirusan tulang rahang.

Ucapan selamatnya kubalas dengan anggukan santai, seolah tidak terjadi apa pun di antara kami. Dua insan yang pernah mencintai, tapi detik ini bak orang asing saling tidak peduli.

"Filsafat Cinta."

Aku bungkam, tidak seperti makhluk lain yang bersorak-sorai ketika mendengar bibir Ares mengucapkan satu kata memabukkan perihal peradaban terdalam manusia.

"Apa itu Filsafat Cinta?"

Kelas mulai hening, dan aku menunduk karena enggan menatap luka. Namun, tempo hari mereka tidak akan sehening ini meskipun tidak mampu menjawab.

"Rhea ...."

Aku mendongak, kemudian menoleh ke kiri dan kanan penuh tanya.

"Mister Ares bertanya padamu," tekan Kahi yang duduk di depanku, membuat kelopak ini berkedip datar.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang