07. Kencan Gila

100 2 0
                                    

Setelah bergerak lincah di lantai dansa, aku merunduk. Terang di belakang panggung nyaris tampak, tapi tubuh ini lebih dulu terseret menuju gelap hingga tiba di lorong kecil bercahaya minim. Ada tatapan menuntut yang menyebabkan jantungku berpacu seolah dikuliti. Pria yang beberapa minggu lalu memaki, hadir di depan wajah berpeluhku.

Ia berdehem canggung. "Penampilanmu bagus."

"Siapa kau?" Aku berucap sinis sebelum berlalu, tapi pria itu lebih dulu mencekal tanganku.

"Rhea—"

"Rhea, aku minta maaf, itu bukan yang ingin kau ucapkan?" Lenganku bersilang di depan dada. Melalui siluet, wajahnya tampak nyata.

Tidak ada memori signifikan yang mampu memberitahu bahwa pria itu pantas memperlakukanku seperti beberapa minggu lalu. Ia terlampau asing dan tak berhak.

Kelopaknya menyatu sejenak, tampak frustrasi. "Sebelum kau datang, kami bertengkar." Pria itu mengangguk dengan bibir berucap ragu. "A-aku tahu kau tidak akan semarah itu jika tidak di—"

"Berhenti." Aku berpaling.

"Rhea—"

"Sudah kumaafkan. Sekarang, kau bisa pergi." Aku kembali menatap datar, menohok bagian terdalam jiwanya agar pria itu sadar bahwa perlakuan beberapa minggu lalu amat tak pantas. Tubuh ini kembali tertarik ketika hendak berlalu. "Lepas!"

"Diam, atau kita akan ketahuan." Pria itu menggeleng. Meskipun watak yang kutemukan masih sama, yaitu tak segan mengancam, tapi tidak dengan sorotnya yang kini tampak asing.

"Jika aku mati, kau orang pertama yang akan dicari polisi karena ini." Kuangkat cengkeraman tangannya.

"Kau pikir aku peduli?"

Aku menyerah dan menunduk lama bersama kesal, berupaya mengeksekusi kenyataan karena panggung teater telah terisi. Hiruk-pikuk di luar sana pun menyadarkanku bahwa kami terjebak karena ulahnya. Hanya tersisa helaan napas yang menderu dari hidung, bersamaan detak jantung, terus berpacu antara lelah dan takut jika ketahuan bersembunyi di tempat sempit berdua. Ini benar-benar akan menjadi skandal gila.

"Rhea, maafkan ucapanku beberapa minggu lalu. Demi Tuhan, aku menyesal."

Tubuhku meremang. Cekalan, tatapan, dan bibirnya ketika merapal bak memberi aliran kehangatan. Sekali lagi kuakui bahwa pria itu amat berbeda.

"Mari berkencan, Krysrhea." Suara beratnya mengikat keterdiamanku bersama setangkai bunga yang ia raih dari saku belakang. "Sebagai permohonan maaf dan ucapan selamat untuk penampilan tari solomu malam ini."

Bibirku tergagap, mengingatkan diri sendiri. Tidak. Ia hanya meminta bantuan untuk mengerjakan penelitian yang pria itu sebut sebagai "kencan".

***

Aku tidak akan semudah ini menerima ajakan Mister Ares mengingat pertengkaran kemarin yang terpaksa dimaafkan jika saja pria nekat dan keras kepala itu tidak menelepon nyaris seratus lima kali. Nasibku sungguh sial.

Sedari beberapa menit lalu, ia hanya memainkan telunjuk pada kemudi dan tidak segera melaju. "Bertengkar denganmu adalah lubang kematian yang kugali sendiri."

Hawa mobil mulai canggung. Aku ingin segera lenyap dari sekitarnya karena syok dalam jiwa yang tidak terkendali. Namun, kami terjebak dalam keadaan yang tak pasti.

"Aku tidak mengerti. Namun, aku menyukaimu, Rhea." Pria itu menarik napas.

Jemariku mengepal di atas paha setelah mendengar ucapan yang sama berulang-ulang, berharap pengakuan konyolnya hanya bualan semata sebelum tersadar ketika tatapan dan bibir Mister Ares tidak menyiratkan dusta.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang