Beradanya aku di sini adalah ujung dari negosiasi panjang melalui ponsel bahwa lukisan pria itu—berisi wajahku—akan dipajang di ruang tari. Aku setuju, dengan catatan bahwa Emeline harus ikut makan bersama sepulang dari tempat ini.
Kepalaku menyembul di salah satu pintu yang terbuka beberapa senti.
"Masuk saja. Kau terlambat dua puluh menit." Pria itu bersarkas, masih dengan kesibukan. Bibirnya memvonis terlambat seolah-olah aku dengan sengaja mengulur waktu, padahal alamat yang pria itu beri tidak sesuai dengan kenyataan.
"Ini salahmu! Kau mengatakan tempat ini dekat dari universitas yang letaknya di sekitar Princess Theatre, tapi apa?" Aku berdecak kesal. "Bahkan, aku hampir mati di mobil!"
Ia beranjak, meraih minum dan menyodorkannya ke arahku dengan wajah santai. "Minum."
"Tidak, terima kasih." Aku merogoh minum dari dalam tas. "Aku tidak akan menelan apa pun di sini karena hanya ada kita." Netraku menyorot sekeliling sembari menelan ludah. "Aku takut diberi obat tidur." Tubuh ini mendarat di kursi dekat dinding sembari menyesap bibir botol.
Giginya tampak rapi dengan dagu runcing yang dipamerkan ketika menoleh ke kanan sembari tertawa tak habis pikir. "Otakmu memang liar." Minuman itu kembali ia letakkan di meja kecil.
"Bukan otakku yang liar, tapi antisipasi adalah garda terdepan jika aku masih ingin bertahan hidup." Lenganku bersilang.
Dagunya menunjuk ruang ganti sebelum menatap penghitung waktu di pergelangan tangan. "Kau bisa mengganti pakaian di ruangan itu. Jangan terlalu lama karena pukul empat aku harus menjemput Emeline. Soal ucapanmu, tidak seluruh manusia memiliki niat jahat." Jemarinya kembali memutar kuas, mengabaikanku.
"Tidak semua orang jahat akan mengaku bahwa ia orang jahat." Aku berlalu setelah berucap santai, meninggalkan keterdiamannya yang terjerumus di kuas dan kanvas.
***
Aku tak berpikir bahwa dumalan dalam hati termasuk perbuatan kurang ajar karena kesantaiannya ketika menorehkan cat basah, mampu menghilangkan kesabaran.
"Kapan penderitaan ini akan berakhir?"
"Belum lewat setengah jam, tapi kau sudah mengeluh." Mister Ares menggeleng tak habis pikir.
Mataku berputar malas, kemudian menyorot sisa rupanya dari balik kanvas. Hanya rambut, mata, dan hidung yang terlihat. "Sejak kapan kau senang melukis?" Bibirku merekah gugup sebelum meringis ngilu ketika ia tersenyum santai.
"Apa yang terjadi dengan wajahmu?"
"Tanganku ngilu. Kau seperti membuat bangunan. Kapan semua ini berak ...." Bibirku tersumbat oleh helai rambut.
Pria itu mendekat. "Telah kukatakan, jangan banyak bicara."
"Mengapa aku tidak diperbolehkan bergerak?" Aku menodong setelah tubuhnya tiba di tempat semula.
Hening.
Di tubuh ini melekat baju tradisional Cina dengan riasan lengkap, tapi lengan yang kugantung di depan dada ala tradisional Korea.
"Kau tidak akan mampu menyamakan posisi setelah bergerak seperti semula." Ia menatapku santai. "Banyak hal yang tidak dapat ditarik ulang dari kehidupan, termasuk posisi yang mulanya beku," jelasnya lagi, tapi makin menambah beban di kepalaku.
"Bukankah jika berbicara bibir ini akan bergerak?" Aku mendengkus kesal, masih mendumal. "Namun, kau tidak melarangnya sama sekali."
Pria itu menatapku agak lama. "Karena bibirmu yang terlampau cerewet, aku telah paham tata letaknya tanpa harus diam."
KAMU SEDANG MEMBACA
CIMMERIAN (Terbit)
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! BlURB Aku pikir, ia berselingkuh. Rupanya, akulah yang pantas disebut orang ketiga. Tidak sesederhana kami yang saling mencinta. Tak setolol istrinya yang rela berbagi. Bahkan, lebih rumit dari aku yang penuh suka memberin...