26. Berkamuflase

30 3 0
                                    

Kami memutuskan pergi dari Oxford, kemudian menyewa flat kecil yang tidak jauh dari Big Ben sebelum kembali ke Melbourne—kota kelahiran ibu. Tidak ada keluarga harmonis, adikku, Cleo; atau sosok yang ingin kulenyapkan dari bumi. Hanya dua insan yang tumbuh dengan lebam dalam dada.

Memutuskan pergi dapat menghapus bayang-bayang masa lalu, pikirku. Namun, perihnya tak lekang oleh waktu. Mungkin beberapa tahun silam Rhea masih terlampau dini, tapi ketika gadis kecil itu beranjak remaja dan dewasa, ia menyadari bahwa Bryan Leexter memang diciptakan tanpa hati. Ironisnya, Madina dan sang keparat terlahir sebagai anak tunggal yang detik ini hidup sebatang kara.

Ibu sempat menjadi buruh cuci di hotel dan restoran ketika kami menyewa flat yang dekat dengan London Eye. Tidak ada kesedihan, selain kata cinta dan semangat karena gadis kecilnya harus tumbuh tanpa ayah.

Sedari kecil hingga kini, lukaku tidak hanya seputar ditinggalkan, tapi penghinaan, pengkhianatan yang menyebabkan kepercayaan remuk redam. Kematian Eme hingga menyemai luka baru. Detik ini, harapanku hanya satu, yaitu keluarga kecil kami selalu dilindungi Tuhan. Masa kelam perihal kematian wanita itu kubiarkan menjadi kenangan dan penyesalan abadi.

Kebaikan Emeline karena sudi menyelamatkan kami adalah kenyataan pahit yang berusaha kuterima. Aku menyadari bahwa ia wanita biasa, bernurani, dan tidak akan diam ketika sesamanya nyaris mati karena timah panas. Namun, jika benar, mengapa Emeline sebodoh ini hingga terjerat obat terlarang dan berujung aku salah paham? Lantas, ke mana saja sang suami?

Tak ada jawaban selain helaan napas panjangku dalam kelam. Bagiku, Eme terlampau cerdas jika harus terjerumus. Hebatnya, kenyataan memutarbalikkan fakta.

Kelopak ini membuka ketika usapan hangat menyentuh pipi, menemukan wajah rupawan yang kerap hadir sebelum dan setelah aku menutup mata. Memperhatikan netranya, napasku terhela sembari menggigit bibir dalam kuluman senyum.

"Kau mimpi buruk?" Ares menyelipkan rambut tergeraiku ke telinga. "Setelah kau benar-benar pulih, kita kembali ke apartemen."

"Aku mimpi indah." Tubuhku beralih telentang setelah beralibi. "Aku ingin tinggal di sini saja hingga melahirkan. Lagi pula, jam kuliahku tidak banyak." Aku hanya ingin Ares mengenang sisa kebersamaannya dengan Emeline di rumah ini.

Pria itu mengangguk dengan wajah makin tirus. Hari ini ia tampak pucat, sontak membuatku iba. "Bukankah suami istri perlu berbagi?"

Apakah kau pernah berbagi perihal sesuatu yang tidak termasuk dalam lingkaran rumah tangga kita? Kepergian Eme menjadi luka dalam bagi kami, terutama Ares. Namun, ia bertingkah seolah tak butuh uluran kepercayaan bahwa aku mampu menampung lukanya, meskipun tidak utuh.

"Sudah makan?" Pria itu mengangguk.

"Kau pucat." Aku menyentuh telapak tangannya. "Tubuhmu juga hangat, Ares."

Berharap ia mengaku, tapi hanya kekehan santai yang kudapat. "Aku sedang sakit kepala mengurus penelitian kalian," jemarinya memijat pelipis, "dan kondisimu membuatku tidak tenang."

Berhenti membohongiku! "Aku tahu kau memikirkan ...."

Bibir ini ia bungkam dengan kecupan. "Mati itu takdir." Tangan lembut Ares mengusap pinggulku pelan. Hangat dan nyaman. "Coba cari titik terjauh untuk menghindari kematian. Jika dapat, kupastikan titik tersebut telah sesak karena peradaban." Pria itu tergelak sebelum mengecup wajahku lagi.

Bibir ini tergigit ketika mengingat mimpi buruk perihal masa usang yang ingin dimusnahkan, dan kematian Eme masuk ke daftar kelamnya. "Apakah aku salah karena menyalahkannya?" Akhir-akhir ini pria itu menjadi penenang meskipun ia lebih kehilangan.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang