Oxford, empat belas tahun yang silam adalah saksi bisu yang nyata bahwa ambisi mampu menghancurkan logika dan nurani, sementara cinta mampu menyeret gadis polos menyeberangi samudra. Kemudian, memiliki dua buah cinta di hidupnya bersama sang suami.
"Mom, aku pulang!"
Madina yang sedari tadi berbaring menyamping—mengungkung Cleo—menoleh ke belakang dengan bibir merekah setelah menemukan sang putri nan kemerahan karena sengatan cerah. Wanita itu melambai ketika malaikatnya hendak mendekat sebelum diangkat oleh sang ayah.
"Kemari, Sayang." Leexter mengendus perut Rhea geram sebelum mendapat kikikan nyaring, mengabaikan Cleo yang telah berdiri dengan mata berbinar—ingin digendong.
"Aku belum menyiapkan apa pun karena Cleo tidak ingin ditinggal. Maaf." Madina membenahi baju yang sedari tadi terangkat hingga dadanya.
"Tidak masalah. Setelah ini, aku akan kembali ke universitas karena masih banyak tugas yang harus diselesaikan." Pria itu membawa dua buah cinta mereka ke pangkuan sebelum mendarat di tepi ranjang.
Ini risiko karena Leexter tidak ingin mempekerjakan pembantu dengan alasan yang pria itu pikir masuk akal. Ia tidak mengizinkan orang asing masuk ke kehidupan mereka.
"Kau akan pulang larut lagi?"
Leexter mengangguk sembari memperhatikan dua buah cinta mereka yang telah berpindah ke karpet beledu. "Sebentar lagi akreditasi fakultas. Para dosen akan sibuk. Jadi, aku titip anak-anak." Usapan lembutnya mendarat di pucuk kepala Madina. "Putriku?" Pria itu menoleh dengan sorot biru laut yang menguarkan kasih sayang penuh ketegasan.
Rhea berkedip polos. "Ya, Daddy?"
"Nanti sore, daddy akan mengantarmu latihan menari sepulang kursus Bahasa Mandarin."
Mendengar sang suami bertitah yang dibalas anggukan kecil milik putri mereka, Madina menghela napas. "Sayang—"
"Rhea harus mendapat nilai terbaik dan masuk Sekolah Menengah unggul setelah lulus Sekolah Dasar beberapa tahun lagi." Senyuman penuh karisma itu memenuhi wajah Leexter. "Mengalir darah Mandarin di tubuhmu." Pria itu terkekeh jenaka.
"Tapi—"
"Lucu sekali jika anak-anakku tidak pandai berbahasa Mandarin." Madina menghela napas. "Tidak perlu dipaksakan. Kasiha—"
Leexter menggeleng. "Anak-anakku harus tumbuh menjadi individu cerdas." Ia menggulung lengan kemeja, kemudian mendaratkan kecupan sayang di wajah sang istri. "Setelah besar nanti, aku ingin Cleo menjadi guru besar universitas. Berhubung Rhea anak perempuan," iris biru laut itu melirik sang putri sekilas, "aku membebaskan mimpinya dalam kecerdasan."
Wanita itu menekuk wajah. "Rhea bukan Bryan Leexter yang cerdasnya selangit. Aku tidak setuju jika kau memaksakan mereka begitu."
Ayah dua anak itu menyorot serius. "Kau tahu, Istriku. Dunia ini akan mengerikan tanpa kecerdasan," ucapnya sebelum mendaratkan kecupan singkat di dahi dan bibir sang istri. "Aku harus segera kembali. Aku titip anak-anak. Aku mencintaimu, Sayang."
***
Memperhatikan sang putri yang terkapar kelelahan di tempat tidur, hati Madina terenyuh. Beberapa hari ini sorot mungil itu amat sayu meskipun tak pernah bersuara. Namun, sang suami masih keras kepala.
Jemari lembutnya mengusap wajah Rhea penuh sayang. "Mommy akan berbicara pada daddy."
Gadis kecil itu mendongak sebelum menggeleng serius. "Daddy akan marah. Ia sangat membenci kebodohan."
Tidak masalah jika pria itu berambisi, tapi pola pikir yang terlampau tinggi belum pantas diterapkan pada pribadi mungil sang putri.
"Mommy akan memberitahu daddy bahwa Rhea hanya perlu belajar di rumah bersama mommy." Wajah Madina dibuat seantusias mungkin agar sang putri sudi dibujuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIMMERIAN (Terbit)
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! BlURB Aku pikir, ia berselingkuh. Rupanya, akulah yang pantas disebut orang ketiga. Tidak sesederhana kami yang saling mencinta. Tak setolol istrinya yang rela berbagi. Bahkan, lebih rumit dari aku yang penuh suka memberin...