17. Istana Kita?

34 2 0
                                    

"Waktu kalian untuk mencatat hanya lima belas menit!"

"Ya, Mister!" jawab kami serempak ketika Ares berbalik, mencari spidol di sakunya sebelum merunduk karena benda kecil itu menggelinding di lantai.

Hawa siang membuat gerah, ditambah lagi karena wibawa dan karismanya. Perlahan tapi pasti, ekor mataku menatap sinis. Ketika tungkai pria itu mendekat, raga ini pura-pura sibuk. Namun sayang, aku harus menelan sial ketika tinta di genggaman tak mampu menorehkan apa pun karena habis.

"Mengapa tidak menulis?" Ares menyentuh bukuku yang baru berisi beberapa baris.

Aku meringis kuda. "Tinta pulpenku habis, Mister."

Dengan santai, pria itu melempar sesuatu dari sakunya sembari terkekeh. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi wajah Ares terkesan mengolok-olok.

"Ini untukku?" Alis ini meninggi.

"Kupinjamkan," balasnya ketus, membuatku nyaris menyemburkan sumpah serapah.

Tidak pernah terlintas sedikit pun bahwa pria itu memiliki seribu kepribadian. Namun, perbedaan wataknya membuatku berniat menyeret Ares ke spesialis kejiwaan.

Aku telah bersungut-sungut di sela gugup. "Nanti habis," sarkasku masam. "Aku tahu ini tinta mahal yang kegunaannya bukan untuk mencatat." Ketika pria itu merunduk, aku makin gugup.

"Jangan cerewet." Ia beranjak lagi, kemudian menatap penjuru dengan senyuman miring. "Eng ... sepertinya, malam ini akan dingin. Aku butuh yang hangat-hangat." Entah apa yang terbesit di benaknya dengan netra mengarah padaku.

"Kau harus mencoba ramuan jahe, Mister." Angela Jue tiba-tiba memecah keheningan dengan jari yang tetap menari di atas kertas, tak menoleh pada Ares sedikit pun.

"Aku butuh yang lebih hangat dari itu." Ia melirikku lagi.

"Kau bisa mencari partner bercinta," sahut Brikle yang sontak membuat seisi kelas bersorak-sorai, termasuk jiwa kesalku.

"Mungkin saja." Pria itu mengedikkan bahu, tampak santai.

Mungkin hidung dan telingaku telah berasap, hendak menenggelamkannya ke laut dalam. Pria itu sengaja merapalkan kata yang membuatku tersudutkan karena menolak ajakannya tadi malam. Kau memang sialan, Ares.

Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sekadar meniru gaya tulisan bak ulat cabai yang terukir di papan tulis. Aku turuti permintaannya meskipun kertas-kertas tersebut akan berakhir di tong sampah. Kemudian, beralasan bahwa catatan ini tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Hari ini kuis."

Aku—mungkin seisi kelas—mendongak terkejut bersama jantung yang seolah merosot hingga perut. Bukankah kau mengatakan tidak jadi kuis hari ini?! Tidakkah ia tahu bahwa anaknya amat tidak sabaran dan ingin segera makan donat?! Namun, ulah sang ayah membuat kami makin lama berada di kelas ini, padahal jam perkuliahan hanya tersisa sepuluh menit.

"Mengapa tiba-tiba sekali, Mister?!" pekik seisi kelas kecuali aku karena sibuk menyorot bengis, hendak menghabisi.

Tangannya bertopang santai di pinggiran meja bersama wajah rupawan yang ingin kucakar hingga rata. Sedari pagi mencari jam tangan tidak becus, makan ingin disuapi karena pekerjaan kampusnya belum selesai, belum lagi kuis hari ini. Ulah pria itu benar-benar menguji kesabaran.

Ares melirikku dengan gaya kepribadiannya. "Kuis memang harus diadakan secara tiba-tiba, guna menguji kemampuan mahasiswa agar terlihat mana yang belajar sungguh-sungguh atau hanya omong kosong."

Aku menghela napas.

"Soal yang akan dikeluarkan tentu saja dari catatan materi pertemuan sebelumnya." Bibirnya bergerak ringan, bak menggilas semut tanah.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang