Garis Merah: Sejarah

42 3 0
                                    

Willis hendak mengantar titipan sang ibu. Namun, Rhea mengaku tidak di rumah, melainkan di apartemen Alexia. Itu sebabnya ia berada di sini, menuntut penjelasan.

"Jelaskan padaku mengapa Rhea tidak di rumah." Ia benar-benar menodong setibanya di hadapan sosok yang pria itu anggap sebagai tersangka.

"Itu alasanku menelepon, tapi kau lebih dulu tiba di teras." Ares menyandarkan punggung sembari memijat pelipis. Isi kepalanya kusut, tapi nasi telah menjadi bubur.

Willis menghela napas. Dari tanggapan Ares beberapa waktu lalu, jelas ada sesuatu yang tidak beres. "Lepaskan Rhea." Pria itu berucap spontan, mengabaikan keterkejutan sosok di hadapannya yang kini mengeraskan rahang.

Terlampau banyak kesakitan yang Rhea dapat. Sungguh, ia telah bosan bertindak seolah tuli perihal luka-luka sang empunya. Andai Willis tahu akibat, ia tak akan sudi membiarkan semuanya terjadi.

"Aku mencintainya," balas Ares datar, yang mampu membuat Willis berdecih.

"Lepaskan Rhea jika keterikatan kalian hanya membuatnya terluka. Perihal masalah lalu, mari mencari jalan keluar bersama." Sorotnya penuh tuntutan.

Andai belum mencintai dan semudah ucapan Willis, maka telah sedari lama pria itu menyerah. Tak ada gunanya pula mengikat jika seluruhnya akan luka.

"Melepaskannya, kemudian membiarkan orang yang kucinta ikut bersama Leexter?" Ares menggeleng tegas. "Aku tidak segila itu."

"Rhea berada di sekeliling orang yang menyayanginya." Willis menanggapi dengan santai. "Jangan harap aku tidak tahu perihal hubungan kalian berdua." Tak peduli, pria itu beralih pada Adheline yang sedari tadi tertunduk kaku di seberang tubuhnya.

Ares sama sekali tak mengelak. Bahkan, ia pun mengharapkan Willis tahu segalanya. Pria itu tidak mampu bekerja sendiri, untuk saat ini. "Rhea tengah mengandung darah dagingku. Hingga mati pun, aku tidak akan melepasnya."

"Bodoh sekali. Apakah seperti ini caramu mencintai?" Emosi Willis tersulut. Kepalan jemarinya mengetat dengan sorot penuh emosi.

Pria itu telah lama memupuk kesabaran. Pura-pura buta meskipun melihat, pura-pura tuli meskipun mendengar, seolah mati rasa meskipun merasa. Willis membenci seluruh keterbatasan.

Sorot Ares amat datar. "Ada sesuatu yang perlu kukerjakan, dan hal tersebut tidak sudi ia terima. Sekadar menjelaskan, aku tak mampu." Ia menggeleng lemah. "Aku akan menikahi Adheline dalam waktu dekat."

"Kau gila!" Willis menggebrak meja. Giginya beradu geram, tak sanggup meredam apa pun lagi. "Lepaskan Rhea dan lakukan apa pun yang kau inginkan!" Telunjuknya mengacung. "Karena kau tak berhak melukainya lagi," ucapnya, penuh penekanan.

Sorot Ares beralih kosong. Pria itu jelas tahu bagaimana respons Willis. Oleh sebab itu, ia kembali menjelaskan, "Adheline mengandung anak Leexter." Ludahnya terteguk.

Ruangan yang mereka duduki seolah berputar.

"Ambisi keparat itu adalah membuat Adheline terikat dan akan menjadikannya alat untuk kelancaran bisnis kami. Kau pikir, aku berhak diam saja?" Pria itu menggeleng dengan sorot nanar. "Aku pun tidak bisa membiarkan Rhea mengetahui ini semua."

Tatapan Willis meneduh. Emosinya redup.

"Perihal aku yang menikahinya karena terpaksa—hanya berlandaskan rasa suka—biarkan menjadi rahasia masa lalu. Aku," Ares menghela napas santai dengan senyuman, "benar-benar tidak menginginkan Rhea tahu alasan di balik pernikahan kami." Ia mengusap wajah penuh letih. "Dunia gelap perihal mengancam dan diancam. Hingga detik ini, aku masih mencari cara."

Willis menghela napas dalam, berupaya menghancurkan emosi. Kali ini pria itu akan mendengar dan menilai, meskipun tak pernah berpikir bahwa Rhea akan terjerat di tengah kerusakan sang ayah. Kilas balik betapa hancur wanita itu ketika masih menjadi kekasihnya, cukup menjadi sejarah luka.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang