18. Runtuh!

36 1 0
                                    

Raung piluku kembali ke apartemen bersama dada yang sesak dan berat bak dihantam berton-ton batu hingga remuk. Seluruh napas yang tersisa di paru-paru pun tercabut karena isak tangis. Dalam hening aku bertanya, tapi tak mampu menemukan pembelaan di tengah luka. Kami baru saja hendak memulai cerita bahagia, tapi Tuhan menghancurkannya tanpa sisa di tengah bayang-bayang mengenai status memuakkan. Mereka kakak adik sungguhan, atau hanya orang asing? Aku yang diselingkuhi, atau justru aku yang pantas disebut orang ketiga?

Tubuhku bergetar dan bersimpuh, tepat di lantai dingin pembatas kaca dan udara. Hanya lampu berkilau bak semut berjalan yang tampak. Meskipun tidak mampu terhitung, mengapa dari sekian banyak insan, Tuhan memilihku untuk merasakan ciptaan sakitnya? Mengapa harus aku jika benar jiwa raga ini hanya orang ketiga di antara mereka? Mengapa Ares menjadikanku objek penerima luka? Tidakkah keparat itu iba mendengar keluhan mahasiswinya atas hidup?

Wajahku menoleh kaku dengan tubuh gemetar, kemudian meraih donat yang kotaknya masih tersusun rapi di dekat kaki kursi. Telah menahan sekuat tenaga, tapi kristal bening ini masih mengucur ketika mengingat ia yang sedari tadi terabaikan karena sang ibu amat kesakitan. Setelahnya aku mengunyah cepat dengan sorot kosong, tak berharap muntah.

Berupaya melupakan agar tenang, tapi ingatan tetap terulang. Pantas Ares kerap kembali ke rumah itu. Tak jarang aku memergoki mereka berpegangan tangan, yang hati ini anggap biasa karena keduanya berikatan darah. Rhea yang bodoh dan naif karena kecemburuan adalah partikel bukti, tapi sikap tersebut berusaha ia lenyapkan dengan sengaja.

Imajiku hilang arah. Tujuan hidup di benak pun lenyap tanpa petuah bersama seluruh masalah. Dahsyat dan amat menakjubkan. Lihat, dusta mereka terkuak ketika aku telah mencintai dan anaknya pun telah hadir. Amat terlambat.

"Ares, kau di mana?" Genggamanku pada ponsel bergetar hebat. Setelah sekian jam, ia baru mengangkat panggilan sang istri. Tentu saja, tak seorang pun sudi diganggu jika tengah tenggelam dalam nikmat.

"Sebentar lagi aku tiba di kamar. Maaf karena tidak sempat membelikanmu nasi padang. Besok sore, aku janji." Langkah sepatunya terdengar terburu-buru.

Gigiku beradu dengan kucuran air mata. "Hm, ya sudah, tidak apa."

"Kau menangis?!"

"Ya. Aku sangat merindukanmu. Cepatlah, aku butuh pelukanmu, Ares," balasku parau sebelum memutus sambungan telepon secara sepihak.

Raung menyesakkan menggema. Ini lagu luka karena aku amat kesakitan.

***

Tungkai lemasku melangkah ke arah pintu. Netra kosong ini hanya mampu menyorot seadanya dengan kue dan lilin yang menyala-nyala. Cahaya kecil itu memberi semangat meskipun tanganku telah bergetar hendak menampar.

Ketika wajah tampan Ares yang Tuhan ciptakan dengan senyuman menyembul dari balik pintu kamar, netra kami beradu dalam. Ia tercenung dengan sorot yang tidak seberbinar tadi pagi—ketika mengajar—karena tampak redup dan letih. Oh, jelas letih. Sehabis bercinta berjam-jam lamanya, tentu saja energi untuk menyambut kejutanku pun tak bersisa lagi.

"Rhea, kau ...." Keterkejutannya menggantung.

Aku mengangguk sekuat tenaga dengan bibir merekah meredam luka. "Selamat ulang tahun, Mister."

Pria itu mengecup seluruh area wajahku bersama doa di dalam diamnya, kemudian meniup lilin hingga padam sebelum menggiring tubuh kami ke arah ranjang. Kue yang kubeli penuh sukacita, terabaikan.

"Kau tidak memberiku kado, Sayang?" todong Ares bersama pelukan erat, menuntun tubuhku agar tiba di pangkuannya.

Netraku mengerling. "Bukankah kau telah mendapatkan kado dari Eme?" Bibir ini bersarkas yang sontak menyebabkan alis pria itu menyatu. Setelahnya, aku terkekeh dengan dada berseteru.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang