22. Aku Terjebak

25 3 0
                                    

Ruangan ini menjadi saksi bisu betapa hebat kami berbagi kecuali perihal ia yang telah beristri, dan betapa deras aku mencintai sebelum diremukkan dengan kebohongan tanpa nurani. Setelah melepas topi dan masker, tungkaiku berayun pelan, menebas kekosongan. Kutemukan cinta dan luka dalam satu waktu. Perih ini tidak hanya perihal kepercayaan yang hancur. Luka-luka kecil mulai bersemi akibat partikel bernama cinta yang menciptakan paradoks tak kasatmata.

Aku meraup oksigen setibanya di depan pintu kamar yang terbuka beberapa senti dengan bibir tersungging miris dalam remang. Ketika hendak masuk, langkahku memberat. Mengapa harus sesakit ini? Apakah aku masih dikatakan waras jika relung terdalam amat mencintai? Tolong, ingatkan dan jangan salahkan rasaku.

Pria itu ... di sana. "Rhea, tolong jangan tinggalkan aku."

Mengingat kebohongannya, aku hendak berbalik, tapi tujuan awal yang ingin mengambil baju menyebabkan tungkai ini kembali terhenti.

"Aku akan mengambil baju." Aku melangkah tergesa sebelum berkutat dengan lemari.

Kristal luka telah mendesak hendak tumpah, tapi tertahan oleh keegoisan atas rasa bahwa aku tidak membutuhkannya lagi. Ia hanya pria asing, beristri, yang pantas terkubur bersama masa lalu. Kehidupan terhitung bulan hanya kesalahan yang tidak perlu disesali. Namun apa daya, makin dalam otakku mendoktrin jiwa, makin dalam pula hati ini terdorong ke jurang luka.

Helai per helai baju kutata rapi di tepian ranjang meskipun tungkai ini telah gatal hendak keluar karena tidak sanggup lagi mengibaskan ekor mata pada Ares yang terdiam. Sama halnya denganku dulu, ia bersimpuh di tengah luka yang tidak akan kupedulikan lagi.

Aku meraih koper di sudut kamar sebelum tersungkur dalam isak tangis ketika lengan ini tenggelam di cekalannya. "Lepas! Aku ingin pulang." Sedu sedanku tidak terbendung lagi setelah sorot kami beradu. "Tolong, lepaskan aku ...." Dengan tubuh bergetar, aku memohon.

"Tidak akan!"

Kerongkonganku kesulitan menelan saliva. "Kau jahat, Ares!"

Pria itu tidak menjawab selain sibuk menyelisik mataku sebelum sesenggukan dalam remang. Kami bak dua manusia bodoh yang meraung karena keegoisan. "Rhea, aku merindukanmu," lirihnya tanpa menyentuh ketika aku mundur setelah cekalan erat di pergelangan tangan mengendur.

Andai tidak berdosa dan egoku baik-baik saja, maka yang kurasakan lebih dari itu. Tidakkah ia tahu bahwa janin ini terus saja meminta agar dipertemukan dengan sang ayah meskipun tanpa menyapa? Namun, sedikit pun aku tak berhak berpikir demikian—dan tidak ingin hal tersebut terjadi.

"Rhea, aku tidak bisa menceraikanmu."

Mata kami tak hentinya berserobok dalam isak tangis. "Jika kau tidak memiliki alasan menceraikanku, aku pun tidak memiliki alasan untuk bertahan denganmu!"

"Meskipun ada Emeline, aku mencintamu." Ia kembali mengakui hal yang sama hingga aku bosan dan muak.

"Kau egois!" Kakiku mengentak lantai. "Kalian sakit jiwa."

Dengan napas tersendat, Ares menggeleng. "Meskipun berusaha menolak, aku manusia. Eme ...." Lanjutan kalimatnya tidak lagi kudengar. Kini, beralih fokus pada bibir Ares yang bergetar. "Apakah ... anak kita sehat?"

Entah mendapat keberanian dari mana, aku menarik tangannya ke perut dengan anggukan kuat. Dalam sunyi, kami melepas tangis sebelum baku hantam dengan rasa bersalah. Aku mundur. "Ares—"

"Tidakkah kau mencintaiku?" Tangisnya makin jelas dalam hening.

Apakah perlu diperjelas setelah sekian jauh aku melangkah untuk memutuskan hidup bersamanya meskipun hanya hitungan bulan? Aku tidak semudah itu percaya, berlebih melepas masa yang seharusnya hingga detik ini masih ada. Namun, Ares memberi harapan baru. Jika tidak mencintainya, tak akan ada Ares kecil di antara kami.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang