15. Ingin Bermanja

40 0 0
                                    

Setelah pertengkaran seminggu lalu, kami makin mengetatkan komitmen agar selalu terbuka. Menikah perihal kejujuran, demi meminimalisir keributan. Jika ego ini keberatan, Ares memintaku berucap apa adanya karena memendam hanya akan meremukkan dada. Akhirnya, aku mengerti bahwa amarah beberapa waktu lalu adalah emosi semata.

Aku mengetuk pintu rumah Ares dan Eme. Merasa tidak ada jawaban, tungkai ini makin masuk membawa satu kantung plastik buah-buahan yang sempat kubeli di supermarket. Ares mengatakan bahwa ia akan kemari pukul dua siang dan memintaku menyusul dengan sopir setelah kembali dari kampus.

"Eme, aku dat ...." Ucapanku menggantung. Ares dan Eme yang duduk berdekatan bak merenggang karena aku datang. Genggaman keduanya pun terlepas.

Bolehkah aku iri? Namun, setelah Cleo-adikku-pergi ... status sebagai anak tunggal makin mendarah daging.

Aku mendekat pelan dengan lengan terentang.

"Rhea, bu-bukankah kau akan kemari pukul empat?" Pria itu menautkan alis sembari merentangkan tangan, membalas sapa dariku.

Bokong ini mendarat di pangkuannya setelah mendapat kecupan singkat pada bibir. Terkesan kaku. Mungkin, Ares tidak nyaman jika bermesraan di depan sang adik. "Mrs. Renata tidak masuk." Sorotku beralih pada Emeline, menerima senyuman hangat.

Wanita itu makin cantik. Namun, jika dilihat dari garis wajah, rupa tampan sang kakak tidak mengalir di sana dan aku baru menyadari bahwa mereka sangat berbeda untuk ukuran dua insan berikatan darah.

"Kuperhatikan, kau tampak lebih kurus dari biasanya. Apakah Ares tidak memberimu makan?" Ia melempar gurauan sembari menyilangkan kaki, kemudian mengusap wajahku sebelum melirik sang kakak. "Apakah kau sehat?"

"Eme, aku sempat membeli mangga muda di supermarket. Aku akan mengupasnya." Aku enggan membahas proporsi tubuh karena Ares akan menggerutu dan mengulang perdebatan minggu lalu. Itu sebabnya tungkai ini berlalu.

Kemudian, potongan kecil mangga kutata rapi di piring kaca. Tak ada sejarahnya aku menyukai makanan berasa masam. Namun, semenjak beberapa waktu lalu, yang tidak kusukai beralih menggugah selera.

Rampung berkutat di dapur, aku kembali ke ruang televisi. "Tidak perlu melepasnya seperti tadi karena ada aku. Bukankah kakak adik berpegangan tangan itu wajar? Aku pun akan melakukan hal yang sama jika memiliki saudara kandung." Piring berisi mangga kuletakkan di meja. Bibir ini tersenyum santai.

Kuperhatikan, keduanya tergagap malu. Enggan mengganggu kemesraan mereka, aku mendarat di sisi kiri Ares. Kemudian, memeluk pria itu dari samping.

"Eme, kakakmu mengatakan bahwa kau sedang sakit seminggu lalu." Aku ingat betul ketika Ares sering kembali ke rumah karena sang adik demam berhari-hari. Bahkan, kami pun sempat berseteru perihal pembagian waktu yang amat tidak adil bagiku.

"Iya, tapi telah pulih." Ia melirik Ares ketika pria itu ikut menggenggam tangan sebelah kiriku. "Ares juga mengatakan bahwa kau demam. Jangan meninggalkan sarapan, Rhea. Kau perlu energi untuk memulai hari." Emeline mengusap rambutku setelah mengomel lucu yang kubalas dengan anggukan penuh semangat.

Aku melepas dekapan, kemudian mengunyah mangga muda dengan posisi berlutut di lantai bersama lengan yang tersangga pada meja. Karena ingin, tubuh ini kembali mendarat di pangkuan Ares yang pria itu balas dengan kecupan canggung. Kami jarang sekali bermesraan di depan umum. Namun, kini rasa ingin bermanja dengannya tak mampu dibendung lagi. Alhasil, pria itu terpaksa menuruti gerak-gerikku.

"Kau berat." Ia melingkarkan lengan di tubuhku penuh ragu.

Bibirku mengerucut lesu sebelum beranjak dari pangkuannya. Selain sering letih, aku pun jadi mudah tersinggung.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang