23. Kejanggalan

22 3 0
                                    

Semenjak kembali pada Ares, aku kerap termenung di balik dinding kaca bersama bintang-bintang—menikmati kesendirian. Saat itu ketidakpulangannya hanya amukan bibir tanpa luka dan kesakitan. Namun, setelah tahu mereka suami istri, tidak kembalinya pria itu adalah sayatan-sayatan kecil pencetak perih bersama bibir yang seolah tak berhak bersuara.

Usapan lembutku mendarat pada Ares kecil. "Kau merindukan ayahmu, Sayang?" Mungkin kekehan yang mengudara terdengar menyedihkan. Ayahmu sedang bermain api.

Sekali dibohongi, pantang bagiku berleha-leha tanpa keketiran. Terkadang, aku berpikir tidak ada gunanya iba dengan Emeline. Namun, nurani ini melolong hingga kembali tersungkur di kubangan yang sama, lengkap dengan keegoisan Ares.

Sebelah bibirku terangkat ketika pintu apartemen berderak pelan. Emeline menyembul, sontak jiwa ini tercenung sebelum berdehem dan menunduk. Sayang, beberapa titik bekas suntikan di lengan wanita itu mendorongku untuk kembali mendongak. "Lenganmu ...." Aku hendak menyentuhnya sebelum terhenti ketika Eme bergegas menyembunyikan lengan. "Kau sakit?"

"A-aku beberapa kali tertusuk jarum ketika memermak beberapa bagian gaun tadi." Netranya berputar, kemudian tersenyum tulus yang sontak membuatku lega. "Aku ingin meminta izin untuk membawa Ares ke Indonesia sepulangnya dari London."

Rasa sakit itu datang, menghantam dada yang tidak mampu kubendung lagi ketika sorot sayunya berbenturan dengan ego dalam jiwaku. "Apakah harus?"

"Rhea," bibirnya tergigit seolah menahan sesuatu, "aku takut keluar negeri sendiri." Tatapan Eme tampak gelisah.

Kau bisa menyewa pengawal! Egoku menggeram dalam hati sebelum mengangguk paham penuh alibi. Bersama sesak, bibir ini tergelak. "Maksudku, apakah meminta izin menjadi suatu keharusan?" Aku berpaling dengan sudut mata penuh air. Entah hingga kapan relaku mampu bertahan dalam keadaan tidak nyaman dan luka.

"Aku hanya—"

"Kalian boleh pergi selama apa pun yang kalian inginkan." Napas ini memberat ketika Eme menarik tanganku yang hendak berlalu.

"Kita bisa pergi bertiga." Eme tampak antusias, tapi tidak dengan lukaku.

"Aku tidak ingin mencari mati." Cekalannya terlepas ketika kusentak. "Kau tahu, aku tidak sebaik itu berdamai denganmu."

"Aku tidak masalah, asalkan jangan meminta kami—"

"Aku mampu membuat Ares berpaling darimu selamanya." Gigiku beradu ketika sorotnya berkaca-kaca. "Jadi, berhenti membuatku berada di posisi ingin dan tak ingin."

"Kau sudah makan?" Ia mengalihkan pembicaraan yang kubalas dengan anggukan pelan. "Jika begitu, aku akan pulang." Eme beranjak, menyisakan hangat di tepi ranjang. "Aku telah mengisi dapur dengan sayur dan buah agar kalian sehat," ucapnya sembari memangkas jarak, kemudian mendaratkan telapak tangan di perutku.

Menyorot wajah sendunya, aku kesakitan.

"Hai, Manis, aku pinjam ayahmu beberapa hari, hm?"

Pertahananku runtuh ketika tubuhnya berlalu, meninggalkan akal gila ini dalam hening. Setelahnya, aku kembali menatap lalu lintas Melbourne dari atas. Terlampau banyak hiruk- pikuk penyebab dada bergejolak, ingin menyalahkan Tuhan lagi dan lagi. "Aku membencimu, Eme. Namun, sekadar melukai setitik pun, hati ini kesakitan." Air dilemaku mengucur geram sebelum tersentak ketika ponsel di sofa berdering nyaring.

"Ya?" sapaku ketus.

Kudengar, Ares menghela napas. "Lusa, aku kembali ke Autralia. Namun, karena harus mengantar Eme menghadiri peragaan busana, kami akan ke Indonesia selama beberapa hari. Kau keberatan?"

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang