Garis Merah: Dialektika

20 3 0
                                    

"Sial!" Ares mengumpat di hadapan Robert. "Sebenarnya apa yang Leexter inginkan?

Milikku selalu ia usik." Jemarinya memijat pelipis karena berdenyut.

Ia sengaja menyuruh Robert bermain dengan Adheline untuk mengorek informasi lebih karena Rhea berhasil menggagalkan rencananya saat itu. Percayalah, kecurigaan Ares ketika menemukan jaket Leexter dan botol obat—yang enggan ia bayangkan—di kediaman Adheline mampu menohok dada. Setelah ditanya, sang wanita tak sudi mengaku.

"Saat mabuk, Adheline mengaku bahwa akhir-akhir ini Leexter sering menemuinya untuk menuntaskan hasrat. Hanya saja, tidak seorang pun tahu perihal ini termasuk Anda, Tuan." Robert menunduk. Sebaik-baiknya Ares sebagai atasan—meskipun pria itu bisa saja meletuskan kepala manusia jika ingin—ia tetap memiliki rasa hormat.

"Sial. Leexter mengaku tidak pernah sudi memakai jasa pelacur untuk memuaskan hasrat." Genggamannya mengetat. "Namun, kenyataan ini membuatku merasa janggal, berlebih Adheline bungkam soal Leexter yang menyewanya sebagai teman tidur—bukan sekadar teman judi atau penghalau penat semata."

"Tuan—"

"Sebenarnya, apa yang ia inginkan?" Pria itu menimbang dan berpikir sebelum tersentak hebat. Setelahnya ia beranjak cepat, kemudian meraih ponsel yang menyala-nyala di meja.

"Tidak—"

Telunjuk pria itu mengacung, menitahkan Robert untuk diam. "Adheline, aku ingin bertemu denganmu. Sekarang."

***

"Ayahku bisa saja hanya memanfaatkanmu untuk bisnis." Ares meneguk liur ketika Adheline menatap lantai dengan sorot datar.

Bukankah seharusnya wanita itu perlu melempar bumerang? Bahkan, Ares pun melakukan hal yang sama—memanfaatkannya sebagai mata-mata—meskipun saat ini tidak lagi.

"Bukankah kau pun sama?" Sorotnya bergetar sayu.

"Lantas, kau ingin berkhianat dan beralih memata-mataiku untuknya?" Gigi pria itu beradu. "Bukankah aku telah memintamu berhenti? Sebenarnya aku tidak masalah jika kau tetap ingin menjadi pelacur, asalkan menurut dengan apa yang aku katakan."

Adheline tidak ingin ambil pusing. Denyutan di kepalanya lebih hebat menarik ketenangan. Pembicaraan ini menambah rasa sakit itu lagi.

"Setidaknya ia menjanjikan kehidupan untukku." Sorotnya berkaca-kaca dengan sunggingan samar.

"Kau berpikir bahwa Leexter sungguhan akan memberi itu semua?" Ares mengusap wajahnya kasar, tak menyangka Adheline akan selemah ini untuk urusan perasaan. Yang pria itu tahu, hati sang wanita telah mati.

"Bukankah aku telah memberikan apa pun yang kau ingin?"

"Bukan begitu, Adhel ...." Pria itu mengusap wajah frustrasi. Baru kali ini ia kesulitan berkomunikasi dengan Adheline. Tempo hari, wanita itu tidak rapuh dan keras kepala.

"Bukankah informasi penting yang kau butuhkan—perihal anak kandungnya yang entah di mana—telah kuberi?" Jemari bergetarnya meremas ujung baju, makin mengeluarkan energi terbesar untuk bertahan pada rasa nyeri di dada dan perut.

Ares mengacak rambut kasar. "Ya, Tuhan, bahkan ia bisa saja melenyapkanmu dalam sekejap jika kau tidak mampu menuruti permintaannya!" Wajahnya menunduk dalam, kemudian bersimpuh di depan lutut Adheline sebelum mendongak. "Leexter tidak segan- segan menelantarkan anak dan istri karena tidak becus menjaga calon penerus. Bukankah kau telah mendengar itu dari bibirnya sendiri?"

Adheline tertegun. "Itu hanya masa lalu, Ares." Wanita itu menggeleng gelisah. "Bukankah kami bisa memulainya?"

"Leexter berbahaya, kau harus tahu itu." Pria itu menggeram frustrasi.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang