Melalui celah kecil, aku menemukan secercah harapan. Iba yang tersusun per detik, menit, jam, atau bahkan hari, memaksa raga ini untuk tetap bertahan. Aku sempat terlelap dalam keadaan perut kosong. Masih di tempat dan udara yang sama, hati ini meraung butuh pertolongan. Tidak banyak pintaku, selain Ares kecil yang diberi kekuatan.
"Kau sudah bangun, Sayang?"
Mata beratku mengikuti geraknya yang mendekat.
"Cantik. Pantas pria sekelas Ares sudi menikahimu." Ia berbisik penuh penekanan.
Aku memberontak kasar sebelum mendapat jambakan keras hingga bibir ini tak mampu meredam histeris dalam bekapan. Air mataku mengucur. Lantai dan debu bak enggan memberi pertolongan. Mereka berbalik mengolok-olok bahwa berakhirnya aku di sini adalah bayaran atas luka Emeline. Ketika benda tajam mengancam Ares kecil, keringat dinginku mengalir deras.
"Aku dengar kau sedang mengandung. Bagaimana jika kita membedahnya?" Seringaian pria itu meluapkan ketakutan, senada dengan pisau lipat yang menari-nari di perutku.
Aku menggeleng kuat tanpa suara sembari berdoa dalam hati dan percaya bahwa Tuhan akan melindungi kami, seperti janji Ares di tengah remang ketika jiwa raga ini kembali ke kungkungan permainan.
Pria itu terkekeh samar ketika aku menjerit kesakitan karena penutup bibir ia tarik kasar. Kuperhatikan, tubuhnya mundur beberapa langkah sebelum tersenyum bak malaikat penolong.
"Lepas!" Tubuh ini bergetar hebat, menahan sakit dan letih ketika ia menendang kakiku kasar. "Aku mohon," pintaku dengan bibir tergigit.
Kuharap tatapan iba ini mampu meluluhkan kejahatan. Namun, keparat itu lebih dulu menendang pinggulku. Ngilu di tubuh tidak terasa lagi, selain kekhawatiran pada Ares kecil.
Keparat itu hendak mencium pipi basah ini sebelum kuludahi. "Berengsek! Henti ...."
Kalimatku menggantung ketika sosok tenang berhidung mancung menghentikan perseteruan kami.
Ia mendekat, menampilkan wajah iba sembari mencengkeram rahangku kuat setelah menitahkan pria sebelumnya untuk meninggalkan tempat ini. "Hai, Wanita Kesayangan Ares."
Aku menatap penuh benci. Tanpa takut, kuludahi wajahnya hingga keparat itu berpaling. Raga ini memberontak kasar ketika ia mendekat, mencium dan menggigit bibirku hingga berdarah. Dengan tenaga seadanya, kelopak ini menyatu. Mungkin keterkejutanku hanya lagu lama, tapi ancaman mereka terhadap Ares kecil lebih mengerikan.
Rasa sakit melepas jerit ketika tangan kekarnya merobek helai penutup kulit bahuku, menyisakan tali bra yang tampak dari luar. Siku yang masih mampu kutekuk dapat membantu lengan ini menutupi bahu telanjang. "Lepas!" Aku menggeleng frustrasi ketika wajah keparat itu mendekat. "Setelah keluar dari sini, aku bersumpah akan pergi dan tidak akan menjadi wanitanya lagi." Napasku tersendat di sela isak tangis.
Namun, ia hanya tertawa nyaring, bak menyaksikan lelucon pagi sebelum melempar jaket ke sembarang arah dan berjongkok santai di hadapanku penuh wibawa. Ketika keparat itu mencengkeram dagu ini, adabnya benar-benar tidak sejalan dengan rupa. "Kau tidak akan lepas darinya, Sayang. Apa perlu kuhabisi suamimu?"
Aku menggeleng tegas dengan isak tangis setelah berpaling karena tak sudi menatap wajahnya yang makin mendekat. Karena letih, aku terpejam.
***
Meskipun tidak mampu menghitung waktu, pancaran sinar dari celah kecil mampu memberi pengetahuan. Aku telah enam hari disekap dengan bentuk dan posisi yang sama, serta perasaan tak jauh berbeda. Bahkan, aroma keji ketika mereka menyeret raga ini kemari masih tidak berubah.
Aku membuka mata sembari menahan denyutan, berusaha menatap perut. Kuharap ia baik-baik saja karena selama berada di tempat terkutuk ini, janinku tidak mendapat asupan apa pun selain beberapa suap nasi yang keparat itu beri setelah diludahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIMMERIAN (Terbit)
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! BlURB Aku pikir, ia berselingkuh. Rupanya, akulah yang pantas disebut orang ketiga. Tidak sesederhana kami yang saling mencinta. Tak setolol istrinya yang rela berbagi. Bahkan, lebih rumit dari aku yang penuh suka memberin...