30. Luka

24 2 0
                                    

Tujuh minggu lalu, keputusanku untuk pergi dari Ares meremukkan sayap-sayap indah yang pernah terkumpulkan dengan jerih payah. Kini, kepergian sosok yang amat kucinta adalah kejutan tak terduga hingga meremukkan jiwa, membuat penderita seolah tak mampu lagi mengumpulkan sayap indah di lembar baru kehidupannya dengan si kecil. Kata terakhir yang kerap kuingat dan hingga detik ini menjadi penyesalan terdalam adalah ia ingin dikebumikan di Cina, tanah kelahirannya.

Pada hakikatnya, manusia lahir untuk mati. Terlepas dari fakta bahwa hidup pun perlu perjuangan guna mencari secercah surga dan meraih kekekalan abadi di langit, maka kau tetap akan menjadi mayat yang terbujur kaku.

Prosesi pemakanan menabur lukaku dengan garam. Hantaman sakit yang bertubi-tubi kudapat adalah jalan Tuhan. Namun, kali ini aku tidak hentinya memohon agar Sang Pencipta memberi kekuatan. Ada calon bayiku di dalam sana. Ia tidak bersalah dan belum mampu mengutuk ketidaktahudirian sang ibu yang melupakan keberadaannya.

"Sebaiknya kita kembali ke penginapan. Kasihan janinmu."

Aku tersenyum samar dengan mata sembap. Tak ada lagi kristal luka selain sesak. Mungkin cairan itu telah kering, memberi peluang bagi rongga dada untuk terus berkontraksi serta merasakan sakitnya.

"Aku baik-baik saja," balasku sengau. "Setidaknya untuk yang terakhir kali, biarkan aku menemani mommy hingga selesai." Aku menunduk sebelum terpejam, kemudian menghela napas panjang.

Seluruh manusia menyorotku, menjadikan perut buncit dan mata sembap ini sebagai satu-satunya objek yang pantas mereka prihatinkan. Belum lagi tak ada pria yang digadang- gadangkan suami ketika aku terpuruk dan butuh usapan kasih sayang. Mungkin mereka akan bertanya siapakah ayah dari janin ini karena Negeri Cina tak pernah merekam sejarah kehidupan si tolol dan luka-lukanya.

"Rhea—"

"Aku baik, Alexia." Namun, tubuhku terasa ringan. Cairan bening yang kupikir telah habis, kini mulai mengucur. Ia kembali meraungkan luka ketika satu-satunya yang mampu mencinta dan memilikiku dengan tulus telah tertutup tanah.

Mom, tenanglah di sana.

Aku berkali-kali menghapus air mata, bersama telapak tangan lainnya yang tak henti mengusap si mungil agar ia tenang dan paham bahwa sang ibu baik-baik saja. Keterdiamanku tidak memedulikan terik pagi yang meneduh karena Alexia mulai mengepakkan payung hitam di atas kepala kami. Bayangan kesedihan memantul, menampar, dan mendorongku hingga terperosok dalam jurang kesakitan.

Dan maaf karena putrimu telah berbohong.

Tatapanku beralih lurus ke depan. Pria berkemeja putih memecah kerumunan dengan wajah muram, tak jauh berbeda dengan sekitar. Sekian detik sempat terpaku karena pandangan kami bertemu, tapi aku menyadari bahwa luka akan tetap menjadi luka.

Bayiku menendang hebat setibanya sang ayah di seberang sana. Ia menimbulkan nyeri luar biasa hingga aku mencengkeram juntaian dress putih makin erat. Sakit.

"Alexia, aku ingin pulang," lirihku, yang gadis itu balas dengan anggukan. Akhirnya, ego ini menyerah. Rasa nyeri di perut dan kepala mendorongku mengalah.

Ia menuntun tubuhku perlahan. "Hati-hati, Rhea. Rumputnya li—"

Pergerakan kami terhenti. "Kau tetap di sini, menjadi perwakilanku. Aku sangat sehat untuk sekadar berjalan menuju mobil. Ada sopir yang akan mengantar ke penginapan. Tidak perlu khawatir." Senyumku terkembang, memberinya ketenangan.

Alexia tampak gusar. "Tapi Rhe ...."

Aku menggeleng cepat sebelum melangkah perlahan, meninggalkan kerumunan dan keterdiamannya.

Panas makin menyengat kulit, meluruhkan butiran keringat jagung di pelipisku. Selendang putih yang sedari tadi tersampir di bahu, kutarik naik hingga kepala. Setelahnya tungkai ini tertatih sembari memegangi perut, tidak berharap bayiku menciptakan tendangan hebat atau sang ibu akan tersungkur kesakitan di tengah pusara.

"Sayang, menendangnya nanti lagi. Hm ...."

Aku mengangguk di tengah senyuman, tapi sarat akan luka karena menyadari bahwa satu-satunya mimpi terburuk yang tak kuharap menjadi nyata telah terwujud—berjalan seorang diri di tengah lautan pusara, tanpa sanak saudara.

"Setelah ini mommy akan istirahat yang cukup. Maaf karena mengorbankan waktu istirahatmu di dalam sana," racauku sebelum menghela napas letih ketika selendang yang sedari tadi menutupi kepala tiba-tiba meluncur ke rerumputan.

Nyaris tiga hari aku tidak dapat tidur nyenyak, menghabisi detik untuk menguliti sesal atas kebohongan serta kesalahan. Lama waktu berlalu, rupanya sayangku untuk mommy tak akan pernah cukup. Nyatanya, aku hanya putri tolol yang tidak peka dengan sakit yang sang ibu derita. Lagi, rasa sesal akan abadi di darah daging.

Aku berjongkok perlahan sebelum beranjak lagi, kembali menyampirkan selendang di kepala. Teduh. Namun, bukan berasal dari rajutan lembutnya, melainkan payung yang mengepak di udara. Ketika menoleh ke kiri, pria dengan kemeja putih telah tiba di sisiku. Merelakan lengannya terangkat, memberi peneduh dengan bayangan yang insan dambakan. Indah, harmonis, dan hangat. Namun, tak kurang dari fatamorgana berisi pilu.

Kami melangkah beriringan, tentunya dalam bungkam. Setiap sisa jejak yang terlewati, kuhitung dalam hati. Berapa kali tungkai terayun, maka sebanyak itu pula telinga ini tuli, mata ini buta, dan pita suara malfungsi, karena bagiku takdir Tuhan beberapa bulan lalu adalah yang terbaik.

SUV yang akan membawaku dan si kecil menuju penginapan terlewati begitu saja. Kami memilih menyusuri jalan di bawah terik pagi. Setibanya di depan penginapan yang berjarak 500 meter dari pusara, aku berbalik. Karena pria itu telah sudi memayungi hingga tempat tujuan, aku memberinya senyum terindah untuk ukuran seseorang yang tengah kesakitan.

"Terima kasih karena telah mengantarku pulang." Tubuhku mundur beberapa langkah, membiarkan silau menerpa wajah lagi—masih sudi memperhatikan kekeruhannya dari dekat. "Permisi," ucapku sebelum berbalik menuju kamar.

"Rhea, tidakkah anakku merindukan ayahnya? Apakah ia baik-baik saja?"

Sangat, Ares. Sangat. "Sangat sehat." Aku berjalan pelan, tak memedulikan ucapannya sebelum menemukan pria tampan yang telah merentangkan tangan dan membawa tubuh gendut ini ke dekapan. Mungkin ia baru tiba beberapa menit lalu. "Willis ...." Setelahnya, aku menangis dalam rengkuhan hangat.

Aku tidak menyangka bahwa pelukan pertama kami adalah pelampiasan atas luka-lukaku.

To be continue ....

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang