Garis Merah: Serpihan

32 3 0
                                    

Canberra, 10 tahun yang lalu.

Tepat satu tahun lalu ketika keduanya masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas, hingga detik ini, tidak perlu ungkapan cinta karena perlakuan telah kuat menjadi sejarah perjalanan romansa mereka. Mata mengaku saling cinta dan tidak ingin melepaskan meskipun bibir masih bungkam.

"Jadi, kapan aku bisa bertemu orang tuamu?" Ekspresi Ares amat antusias.

"Setelah lulus." Jawaban singkat, tapi mampu membuat Adheline meneguk liur kasar ketika Ares menunduk dan mengangguk dengan senyuman tampan. "Kita bisa menjalin hubungan seperti ini hingga waktu itu tiba."

Adheline percaya bahwa pria itu tidak main-main. Namun, ia membatasi hubungan mereka dan menuntut agar Ares tidak mencari tahu di mana tempat tinggalnya, berlebih bertemu orang tua dengan alasan belum ingin dinikahkan karena tradisi keluarga Hara. Ia masih ingin sekolah. Jika mereka telah siap, baru diperkenankan menghadap.

Ares menghormati alasan yang ia pikir masuk akal. "Aku tidak ingin kau menganggap rasa ini lelucon."

Netra keduanya bertemu, tepat ketika Adheline mengangguk samar. Sesungguhnya, ada alasan yang tak mampu ia utarakan.

"Aku akan menunggu karena apa pun yang menjadi keputusanmu, wajib kuhormati." Pria itu memasukkan tangan ke saku. Sepatu sekolahnya mengetuk-ngetuk rerumputan setelah memutus kontak mata dan sesekali menyorot kaki menjuntai Adheline karena kursi yang mereka duduki agak tinggi.

Gadis itu mengaku berasal dari keluarga sederhana dengan profesi sang ayah sebagai supervisor di pabrik gandum, sementara sang ibu hanya penjual kue di kios kaki lima. Adheline memiliki adik perempuan bernama Emeline Hara. Meskipun sosok yang ia anggap kekasih itu amat tertutup, Ares memercayai seluruh ceritanya.

Senyuman menawan Adheline masih jelas. "Apa yang kau pikirkan saat ini?"

"Menikahimu." Lagi-lagi Ares tergelak, kemudian bersandar santai di kursi papan beralaskan tas lusuh sebelum mengerang sakit karena Adheline mencubit pahanya.

"Kau memang tidak bisa serius, ya." Gadis itu berdecak dengan wajah kesal.

"Apa yang ingin kau dengar, heh?" Telunjuk Ares mengacung. "Kancing teratasmu terbuka."

Wajah Adheline merona, mengaitkan kancing teratasnya cepat. "Beritahu aku apa yang—"

"Bagaimana caranya menjadi kaya raya untuk hidup bersamamu dan anak-anak kita, kelak." Sorot itu menerawang jauh, bersama mimpi-mimpi yang pernah mereka susun sepulang sekolah.

Namun, Adheline tidak butuh harta melimpah. Sama halnya dengan ucapan Ares bahwa pria itu hanya mampu menjanjikan kebahagiaan secara batin, tapi tidak secara materil. Ia pun mendambakan hal yang sejalan.

"Aku tidak butuh harta, berlebih menjadi orang kaya." Bibir tipis memesona itu melengkung. "Hidup sederhana bersamamu adalah nikmat Tuhan yang hingga detik ini masih kumunajatkan."

Sang gadis kerap bercerita betapa bahagianya ia hidup sederhana bersama makhluk-makhluk mungil mereka, kelak. Apa pun pekerjaan Ares, Adheline akan menunggu sang suami kembali dan mengusap peluh pria itu setibanya di rumah.

"Jika begitu, tidak perlu dipaparkan seberapa besar cinta dan harapanku untuk hidup bersamamu." Pria itu beralih duduk tegap, membenahi rambut tergerai Adheline yang berantakan karena angin.

"Apakah aku cinta pertamamu?" Gadis itu berkedip penasaran. "Aku belum pernah bertanya perihal ini, bukan?"

"Apakah tatapanku masih membuatmu ragu?" Pria itu beranjak, membenahi seragamnya. "Pertemukan kami. Aku telah menabung cukup lama untuk membelikan apa pun yang adikmu inginkan."

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang