32. Gadis Kecil itu Bernama Amarel

37 4 0
                                    

Tirai putih transparan menghantarkan sejuk, penyebab tulangku ngilu. Partikel kasatmata itu mampu melengkapi kenyamanan, mendorong tubuh ini makin bergelung dalam selimut tebal.

Bagian utara New Zealand—Onewhero—mampu memberi ketenangan di mana aku dapat menyaksikan kuda berlari bersama tapal yang mengetuk sederhana pada rerumputan. Indah, menenangkan, dan perlahan meleburkan luka.

"Ugh, ibu satu ini sudah bangun rupanya."

Suara itu membuatku menoleh cepat sebelum duduk, menemukan Willis yang tengah menggandeng balita mungil berusia tiga tahunan. Tanpa kata, kakiku mulai turun dan menggantung di tepi ranjang. "Halo ...." Kumainkan pipi pualamnya. "Siapa namamu, Sayang?"

Netra bundarnya hanya berkedip-kedip menampilkan kebingungan, seolah tak sudi menjawab pertanyaanku yang ia anggap sebagai orang asing.

"Kemari," lirihku sengau, masih tak menyerah.

Willis terkekeh. Ketika aku mendongak, genggaman balita itu terlepas dari jemarinya. Karena tidak kunjung mendapat tanggapan, aku mendekat sebelum berjongkok dan mengecup pipi gadis kecil itu berkali-kali.

"Amalel."

Dahiku mengernyit meskipun dilingkupi rasa senang karena ia mulai bersuara.

"Amarel." Willis mengucapkan nama gadis kecil nan cantik itu dengan jelas.

"Aaa," aku mengangguk paham, "nama yang indah, Sayang." Kuraih jemari kecilnya, kemudian membawa balita itu ke pangkuan. Rambut-rambut halus Amarel menerpa kulit wajahku, lembut dan harum.

"Hubungi aku jika terjadi apa pun. Sesuai permintaanmu, aku akan menitipkan Amarel di sini. Bajunya telah kutata di lemari." Willis mengedikkan dagu ke sudut ruangan yang kubalas dengan anggukan penuh semangat.

"Orang tuanya tidak keberatan?" Aku penasaran. Pasalnya, Willis selalu bersama sang ponakan jika aku menelepon.

Pria itu tersungging samar. Lirikannya beralih pada Amarel yang tiba-tiba turun dari pangkuanku, menuju karpet beledu di sudut kamar yang penuh dengan mainan. Pasti Willis yang membawa atau membelinya ketika aku masih terlelap.

"Orang tuanya telah bercerai. Semenjak itu ia ikut bersama ibu, kemudian menempel terus padaku."

Penjelasan Willis mampu membuatku tertegun sebelum mengangguk, kemudian terkekeh samar ketika ia meletakkan telapak tangan di rambutku. "Kau bisa mengambil uang dari tabungan bulananku untuk transportasi ke sana kemari selama mengurusku."

"Mohon maaf, Nyonya. Mantan kekasihmu ini kaya raya. Minta pulau pun, aku belikan."

Kami terbahak hingga cairan-cairan bahagia menggenang di sudut kelopak. Namun, ketika Willis berlalu, aku terdiam. Rasanya waktu berjalan amat cepat, sejurus dengan luka-luka yang kuharap segera lenyap.

Balita mungil di sana telah terlelap dengan posisi tengkurap setelah aku tersadar dari kepergian Willis. Aku mengangkatnya ke kasur. Tanpa sadar, air mata ini luruh. Rasa iba mulai merasuk, menggerogoti sisa-sisa sakit di dada. Amarel, korban perceraian orang tuanya. Apakah orang lain juga akan seiba ini jika janinku lahir tanpa sang ayah?

***

Onewhero seperti memelukku, memberi sejuk ketika gerah dan menyelimuti ketika dingin. Belum lagi Amarel dengan tingkah lucunya yang mampu membuat hari-hari makin indah hingga aku betah berada di tanah ini lebih lama.

Kuperhatikan, jalanan amat lengang. Wajar, aku yang memohon pada Willis untuk mencarikan tempat tinggal sementara hingga waktu persalinan tiba. Tanah ini hanya berisikan petani dan peternak yang setiap paginya menjejer sapi dan kuda di rerumputan. Meskipun transportasi tidak mudah kudapat dan menyebabkan kami harus berjalan ke supermarket terdekat, aku menyukainya. Tak ada hiruk-pikuk penuh sandiwara, selain rundukan ramah saling menyapa di pagi buta.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang