14. Keegoisan

28 0 0
                                    

Mungkin, para sutradara akan takjub. Aku dan pria itu sungguh apik berperan selayaknya rekan profesional jika berada di kampus dan rekan hidup ketika di apartemen.

Ares membawaku ke Victoria's Sky. Mengejutkannya lagi, pria itu memiliki basement dan lift pribadi yang menghubungkan ruangan tersebut dengan kamar kami. Kecanggihan itu yang kugunakan untuk keluar masuk apartemen tanpa melewati lalu-lalang dan ancaman didepak dari universitas karena menikah dengan dosen sendiri. Tak jarang pria itu kembali ke rumah sekadar menemui Eme, mengingat bahwa Charles, suami sang adik, sedang bekerja di luar negeri. Terkadang, aku pun menginap di sana dan bercengkerama layaknya keluarga jika tidak memiliki banyak tugas.

"Makin mempelajari filsafat, maka kau berpeluang jauh dari Tuhan."

Sorotku naik ke wajah Profesor Mickel setelah menatap buku kosong di meja. Tidak ada yang lebih menarik daripada rambut-rambut halus di area dagu, serasi dengan usia senjanya. Wajah pria itu mengingatkanku pada sosok yang tak sudi imaji ini pahat ulang.

"Buat esai sebanyak tiga lembar penuh. Sampaikan opini berkelasmu, kumpulkan minggu depan." Ia bertitah penuh wibawa, mengabaikan sorotku yang abstrak.

Kelas bersorak-sorai mendengar penuturannya, tapi tidak dengan bibirku selain merekah sederhana karena lemas. Hari ini amat melelahkan. Bahkan, punggung pun telah sibuk ingin direbahkan. Aku melangkah gontai menuju luar kelas ketika Profesor Mickel dan seluruh hiruk-pikuk perlahan lenyap, menyisakan sepi pada gedung ini. Karena lelah dan mengantuk, aku tidak berharap bertemu Ares yang bisa saja memompa perseteruan.

"Permisi, Mister." Aku menahan napas ketika berpapasan dengan para dosen yang mungkin baru saja menyelesaikan kelas mereka. Beberapa pasang wajah membalas senyum sebelum lenyap, tergantikan dengan lorong lengang. Telah jauh melangkah, aku merogoh ponsel sebelum meluruhkan bahu karena Ares termasuk ke jajaran dosen yang baru saja bibir ini sapa.

Aku akan ke apartemen Alexia dan menyetop taksi hanya membuang-buang waktu, mengingat apartemennya hanya dua menit dari kampus. Namun, ketika hendak menghubungi gadis itu, seseorang lebih dulu menarik tanganku. "Kau lupa jika ini universitas?" sarkasku geram sembari memutar pergelangan tangan agak kasar.

"Aku jemput setelah menukar mobil. Kau sakit." Wajah Ares tampak keruh. "Tubuhmu hangat."

"Aku akan bertemu Alexia di apart—"

"Aku ingin kau pulang dan istirahat. Tolong menurut." Pria itu menatapku tajam.

Aku menggeleng lelah sembari membenahi tas tangan. "Aku tunggu lima puluh meter di sebelah barat kampus."

Pria itu mengembuskan napas sebelum berlari ke arah basement, bersama langkah kakiku yang tertatih agar segera memasuki lift. Tugas setinggi gunung es menurunkan selera makan. Jika Ares menginap di rumah Eme, sarapan pagi yang kubuat sebelum berangkat kuliah pun berakhir menganggur karena tidak tersentuh. Mungkin, hal ini yang membuat tubuhku lemas.

***

Mobil asing pria itu berhenti di tepi trotoar. Raga ini masuk perlahan, mengabaikan Ares yang tak sabaran hendak menyentuh dahiku karena khawatir. "Sayang, kau sakit? Wajahmu pucat sekali."

Bibirku merekah semampunya. "Aku baik." Aku menyentuh punggung tangan Ares yang menempel hangat pada pipi. "Aku memang pucat karena tidak sempat berlipstik. Kesiangan."

Pria itu mengembuskan napas sembari menekan pedal gas. "Mengapa tidak meneleponku? Kau demam."

"Aku baik-baik saja, Ares."

Aku tidak ingin membahas ini. Namun, ketika menatap wajah lembut Eme, egoku tidak sampai hati membiarkan ia sendirian jika menelepon Ares mampu membuat pria itu kembali ke apartemen. Bukankah aku telah berjanji untuk rela berbagi? Dan menetap di rumah mereka termasuk ide buruk karena jauh dari universitas.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang