Garis Merah: Pulau Kelam

22 3 0
                                    

Sekian lama berkutat dengan permasalahan rumah tangga, kini ia benar-benar membutuhkan hiburan. Itu sebabnya Ares mengunjungi tempat bersenang-senang untuk sekadar mengadu letih. Meskipun tidak melulu dengan kata, sentuhan dan masa lalu pahit yang dapat dikenang bersama mampu memecahkan rasa ingin menyerah.

Bertemu dengan salah satu penggodanya, akan menampar pria itu hingga tersadar bahwa ia tidak pantas berhenti berusaha. Namun, otaknya kembali melilit logika setelah menemukan jaket hitam yang tersampir pada punggung kursi.

Malam pekat menambah syahdu. Angin yang berembus dari celah kecil mendorong dua insan agar makin terbenam dalam selimut. Entah siapa yang memulai, tapi mereka kerap larut di tengah ciuman panjang.

Ares mengembuskan napas berat dalam keterdiaman. Ia tidak selingkuh, tapi sedang menghabiskan malam bersama wanita lain yang pria itu anggap bermain-main. Selingkuh sebenar-benarnya adalah berbagi hati karena perihal rasa, dan ia tidak ingin mengakuinya lagi.

"Pernahkah kau berpikir mungkin saja Emeline akan marah jika tahu kita tidur berdua malam ini?" Wanita itu mengerling santai meskipun tahu istri sang dewa tidak akan mengamuk selain kecewa.

Katakan mereka gila, tapi saling sesap hanya lagu biasa. Bukankah sang penggoda dan sang digoda sama-sama menggoda? Lantas, di mana letak salahnya?

"Eme akan kecewa." Istri kecilku yang akan mengamuk.

Wanita itu tersungging samar ketika Ares meraih jemarinya. "Apakah kami perlu bertemu? Aku akan mengaku sebagai simpananmu."

Ares makin mengetatkan dekapan, menyesap aroma yang amat ia damba—tapi tak mampu dimiliki. "Aku akan membunuhmu jika hal tersebut sampai terjadi." Kekehan samar menggema. "Jika ingin bertemu, bertemulah selayaknya kakak dan adik. Lagi pula, kau dan aku hanya teman biasa." Menghalau sesak, Ares terpejam sejenak, enggan menemukan sorot sendu itu lagi.

Hawa sejuk tengah malam menerpa kulit dada telanjangnya hingga beralih luka. Perihal kerumitan rasa adalah salah mereka. Namun setidaknya, pria itu telah mencinta. Dua insan ini telah gila, atau hanya bermain semata?

"Cintai adikku dengan sebenar-benarnya, aku akan sangat bahagia."

Hanya anggukan yang Ares beri di sela usapan pelan pada punggung lembut wanitanya, menyalurkan hangat dalam darah. Setelah ini, ia akan bertemu sang ayah dan hanyut dalam perdebatan panjang.

Ares menarik napas ketika Adheline membenahi posisi tidur agar makin tenggelam dalam selimut dan peluknya.

"Ini salahku." 

Pria itu memejamkan mata frustrasi. "Bukankah Tuhan telah menetapkan takdirnya?"

Seolah tak peduli, Adheline masih sudi meracau. "Aku datang, membawa Eme ke hidupmu. Tak mampu kubayangkan sedalam apa lukanya jika tahu," sorot sayu itu menerawang, menyulam masa lalu mereka, "dan maaf untuk lukamu, Ares."

Enggan menyetujui, Ares menggeleng lesu. "Buktinya, aku mampu mencintainya. Masa kelam jelas telah terkubur. Jadi, mari berjuang bersama."

"Aku tidak berharap kau menduakan Eme."

"Ma-maksudmu?" Pria itu tergagap. Telah sekian lama, mengapa baru detik ini Adheline menuntut Ares untuk menjadikan Emeline sebagai satu-satunya? Bukankah wanita itu tahu ia bukan lagi pria baik-baik?

"Cukup adikku, dan jangan pernah mendua." Sorot sendu itu terlempar penuh mohon. "Kau pun bisa memilikiku, tapi aku tidak sanggup melukainya lagi." Adheline tersenyum mengejek ketika Ares berkedip datar. Kemudian, jemari lembutnya mengukir dada sang dewa.

"Beradanya aku di sini bukankah sama saja dengan menduakan Eme?" Alis pria itu balas mengejek.

"Hanya berciuman dan berbagi tempat tidur? Bahkan, profesiku melebihi ini," jawabnya sebelum saling sesap, berebut candu di tengah kelam pekat.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang